Jumat, 03 Desember 2010

TOKOH-TOKOH YG MEMPUNYAI FIRASAT TAJAM.

Firasat Ibnu Umar mengatakan
bahwa Husein akan terbunuh
dalam perjalanan menuju Iraq
tersebut, ternyata menjadi
kenyataan . Terjadilah peristiwa
mengenaska n yang ditulis sejarah
dengan lumuran darah , yaitu
pembantaia n terhadap Husein ra,
cucu Rosulullah saw dan
rombongann ya di “ Karbela “ ,
yang akhirnya menimbulka n luka
mendalam pada seluruh umat
Islam bahkan menimbulka n fitnah
yang berkepanja ngan hingga hari
ini. Para sahabat lainnya juga
mempunyai firasat yang benar,
seperti yang dimiliki oleh Abu Musa
Al Asy ’ari ra, ketika melihat
perselisih an antara Muawiyah dan
Ali di dalam menentukan sikap
terhadap para pembunuh kholifah
Utsman bin Affan. Beliau melihat
perselisih an tersebut sebagai bibit
fitnah yang harus dijauhi, sehingga
beliau dengan beberapa sahabat
senior lainnya, seperti Sa ’ad bin Abi
Waqas, Ibnu Umar, Usamah bin
Zaid, Abu Bakroh, Salamah bin
Akwah, Abu Huroirah, Zaid bin
Tsabit dan lainnya, menolak untuk
ikut campur dalam peperangan
antara kedua kelompok umat
Islam tersebut. Dan sikap inilah
yang lebih dibenarkan oleh
beberapa ulama “ muhaqiqin “ dari
dua kubu lainnya, yaitu kubu Ali
bin Abi Tholib ra dan kubu
Muawiyah ra. Walaupun mayoritas
Ulama lebih membenarka n kubu
Ali bin Abu Tholib ra, tetapi
pendapat tersebut kurang kuat,
karena ada riwayat yang
menyatakan penyesalan Ali bin
Tholib terhadap sikap yang beliau
ambil di dalam menghadapi fitnah
ini, yaitu setelah perang Siffin yang
mengorbank an ribuan putra- putra
terbaik umat Islam itu selesai.
Begitu juga firasat yang dirasakan
oleh kholifah Utsman bin Affan ra,
ketika seseorang datang
menemuinya , beliau
mengatakan : “ Salah satu dari
kalian menemuiku , sedang
perbuatan zina nampak pada
matanya “ Mendengar perkataan
tersebut, spontas saja, yang hadir
di situ mengatakan : “ apakah
pernyataan tuan tersebut,
merupakan wahyu dari Allah ? “ .
Kholifah Utsman menjawab : “
Bukan, akan tetapi itu adalah
firasat yang benar “ . Juga,
sebelum beliau meninggal dunia
karena terbunuh, beliau merasakan
bahwa ajalnya telah dekat dan dia
akan mati terbunuh, maka beliau
mengambil sikap untuk tidak
mengadakan perlawanan ketika
segerombal an orang masuk ke
rumahnya, serta menolak bantuan
yang di tawarkan oleh beberapa
pengawal dan sahabatnya . Beliau
ingin menghindar i pertumpaha n
darah antara kaum muslimin, yang
ujung- ujun gnya, beliau jugalah
yang akan menjadi korbannya.
Menentukan Hukum dengan Firasat
Bukan sampai di situ saja,
firasatpun kadang bisa digunakan
di dalam memutuskan suatu
masalah. Yang perlu diingat
kembali, maksud firasat di sini
adalah firasat yang benar, yang
merupakan tanda- tanda atau
bukti- bukti yang hanya bisa
diketahui oleh orang – orang
tertentu dan tentunya bisa dicerna
oleh akal sehat. Salah contohnya,
adalah apa yang dilakukan oleh
nabi Allah Sulaiman as, ketika dua
orang perempuan datang kepada
nabi Daud as, untuk menyelesai
kan perkara mereka berdua yang
masing – masing mempunyai bayi,
salah satu bayi dari keduanya
dimakan srigala. Kedua- duanya
mengaku bahwa bayi yang masih
hidup adalah bayinya. Tidak ada
satupun dari mereka mau
mengalah dan ironisnya lagi, tidak
ada tanda satupun untuk bisa
dijadikan bukti dalam perkara
tersebut. Setelah berpikir sejenak,
nabi Daud as akhirnya
memutuskan bahwa bayi tersebut
milik perempuan yang lebih tua.
Apa yang dijadikan dasar oleh nabi
Daud as, sehingga mengambil
keputusan tersebut ? Barangkali
karena pertimbang an umur, atau
karena Nabi Daud as sejak pertama
kali melihat bahwa bayi tersebut
selalu dalam dekapan
( gendongan ) perempuan yang
tua. Keadaan seperti itu dijadikan
Nabi Daud as, sebagai dasar pijakan
untuk memutuskan bahwa anak
tersebut milik perempuan yang
mendekapny a. Dan teori ini
dibenarkan di dalam Hukum Islam.
Namun, ketika kedua perempuan
tersebut mendatangi Nabi Sulaiman
as, dan menceritak an duduk
perkaranya . Karena tidak ada
bukti, Nabi Sulaiman as berpikir
sejenak. Dan tanpa banyak bicara,
beliau segera memerintah kan
anak buahnya untuk mengambil
pedang. Setelah pedang yang
terhunus tersebut di tangan nabi
Sulaiman as, beliau menyaranka n
agar salah satu dari dua
perempuan tersebut untuk
mengalah, sebelum pedang
tersebut diayunkan ke tubuh bayi
mungil, untuk kemudian dibagi
menjadi dua bagian supaya adil.
Sampai di situ, kedua perempuan
tadi tidak bergeming dari
pendiriann ya masing-mas ing.
Mereka mengira bahwa nabi
Sulaiman tidak mungkin berbuat
setega itu. Namun, ketika
perempuan yang lebih muda
melihat Nabi Sulaiman ra, serius
dan tidak main- main dengan
ancamannya , serta hendak
mengayunka n pedangnya persis
di tengah tubuh bayi tersebut, tiba-
tiba dia berteriak : “ Jangan engkau
laksanakan wahai nabi Allah
Sulaiman, mudah- mudahan Allah
memberikan rohmat kepadamu,
saya nyatakan bahwa bahwa anak
tersebut milik perempuan yang
lebih tua dariku “. Mendengar
teriakan tersebut, Nabi Sulaiman
tersenyum dan tidak meneruskan
rencananya tersebut. Kemudian
memutuskan bahwa bayi tersebut
adalah milik perempuan yang lebih
muda. Nabi Sulaiman dalam
memutuskan perkara tersebut,
telah menggunaka n firasat dan
ilmunya bahwa diamnya
perempuan yang tua, dan
menjeritny a perempuan yang
lebih muda serta tidak sampai
hatinya dia menyaksika n anak
tersebut dibelah menjadi dua,
merupakan bukti atau tanda yang
sangat kuat bahwa anak tersebut
milik perempuan muda . Bahkan
bukti- bukti seperti itu, jauh lebih
kuat dari pada sekedar pengakuan
perempuan muda sendiri yang
menyatakan bahwa anak tersebut
bukan anaknya, tapi anak
perempuan yang lebih tua.
Peristiwa ini bisa dilihat di dalam
buku Shohih Bukhori, Kitab ;
tentang para nabi, no ( 3427) dan
di Shohih Muslim, Kitab ; peradilan
no ( 1720 ) Peristiwa tersebut
sangat erat kaitannya dengan
firman Allah :
وداود وسليمات إذ يحكمان في
الحرث غذ نفشت فيه غنم
القو￙ وكنا لحكمهم شاهدين ،
ففهمناها سليمان وكلا آتيناه
حكم￘ وعلما
“ Dan ingatlah kisah Daud dan
Sulaiman, ketika mereka
memberikan keputusan tentang
tanaman, karena tanaman
tersebut di rusak oleh kambing –
kambing kaumnya , dan Kami
adalah menyaksika n apa yang
mereka putuskan. Adapun
Sulaiman telah Kami berikan
pengertian ( kepahaman )
terhadap hukum yang tepat, Dan
masing- masing dari keduanya ,
Kami beri hikmah dan ilmu … “ (QS
Al Anbiya’ 78-79 ) Dari ayat di atas,
sebagian ulama berpendapa t
bahwa menentukan putusan dalam
peradilan dengan tanda- tanda
seperti itu, merupakan bagian dari
“ al fahmu “ ( pemahaman) atau
firasat, bukan sekedar ilmu belaka.
“ al fahmu” atau firasat
sebenarnya tidaklah bertentang an
dengan Ilmu Syareat, bahkan “ al
fahmu “ sendiri merupakan bagian
dari Ilmu Syareat tersebut. Jadi,
ilmu yang disebutkan Allah di
dalam Qs Al Baqarah : 282 di atas,-
yang datang karena ketaqwaan -,
termasuk di dalamnya adalah ilmu
“ alfahmu “ atau “ firasat yang
benar “ . Contoh lain, adalah apa
yang terjadi pada masa kekholifah
an Umar ibnu Khottob, ketika
datang kepadanya seorang
perempuan yang memuji sifat
suaminya, seraya berkata : “
Suami saya adalah orang yang
paling baik di dunia ini, dia selalu
bangun untuk melakukan sholat
malam hingga pagi, kemudian dia
juga puasa pada siang harinya nya
hingga malam “. Kemudian
perempuan tersebut tidak sanggup
meneruskan perkataann ya,
karena malu. Setelah perempuan
tersebut pulang, berkata Ka ’ab bin
Suwar , seorang qhodi yang cerdas
dari kalangan tab ’in , kepada
Umar : “ Wahai amirul mukminin,
perempuan tadi sebenarnya ingin
mengadu kepada tuan “. “
Mengadu tentang apa ? “ , tanya
Umar. “ Mengadu tentang
kedholiman suaminya “, jawab Ka’
ab. “ Kalau begitu panggil mereka
berdua dan kamu selesaikan
masalahnya “, Jawab Umar tegas. “
Saya yang menyelesai kan urusan
mereka, sedang tuan menyaksika
nnya ? “ tanya Ka’ab ragu. “ Iya,
karena firasatmu dapat membaca
sesuatu yang saya tidak
memperhati kannya “ , jawab
Umar ra. Mendengar hal tersebut
Ka ’ab menjadi tenang dan mulai
menyelesai kan problemati ka
kedua suami istri tersebut dengan
membacakan firman Allah :
فانكحوا ما طاب لكم من النساء
مثنى وثلاث ورباع
“ Maka hendaklah engkau nikahi
wanita- wanita yang engkau
senangi : dua , tiga atau empat
“ ( QS An Nisa : 3 ).
Kemudian Ka’ab berkata : “
Dengan dasar ayat tersebut, maka
( wahai suami ) hendaknya engkau
puasa tiga hari saja, adapun hari
keempat engkau harus berbuka
( tidak puasa ) bersama istrimu,
dan hendaknya engkau sholat
malam selama tiga malam saja,
dan pada malam keempat, engkau
harus tidur bersama istrimu “. Umar
bin Khottob berdecak kagum,
ketika mendengar keputusan yang
diajukan oleh Ka ’ab kepada dua
orang suami istri tersebut,
kemudian berkata : “ Firasatmu
yang kedua ini jauh lebih canggih
dari yang pertama “. Akhirnya ,
Umar mengangkat nya sebagai
qhodhi di kota Basroh. Dari
keterangan di atas, bisa kita ambil
kesimpulan bahwa firasat ternyata
terdapat di dalam ajaran Islam,
bahkan disebutkan di dalam Al
Qur’an dan Hadits serta dilakukan
oleh para sahabat dan para
pengikutny a. Namun yang perlu di
catat di sini, bahwa hal itu bukan
berarti setiap orang boleh
mengaku bahwa dia mempunyai
firasat yang benar atau bahkan
memutuskan sesuatu perkara
dengan firasat , walaupun tanpa
ada tanda- tanda atau bukti- bukti
yang bisa di pertangung jawabkan
baik secara Hukum Islam , maupun
secara logika yang sehat.Kare na
hadits diatas, yang mengatakan
untuk berhati- hati dengan firasat
orang beriman , ditambah dengan
contoh – contoh yang diutarakan di
atas , telah membuktika n bahwa
firasat yang bisa di terima adalah
firasatnya orang yang beriman,
yaitu orang yang benar- benar
bertaqwa kepada Allah swt, disertai
dengan bekal ilmu syar ’I yang
mapan. Hal tersebut, dikuatkan
dengan lafadh hadits bagian
terakhir yang berbunyi ( karena
dia melihat sesuatu dengan cahaya
Allah ) maksud dari : “dengan
cahaya Allah” di sini adalah dengan
ketaqwaan dan dengan ilmu.
Karena kalau sekedar mengaku
taqwa tanpa bukti, tentunya tidak
bisa di terima pengakuann ya,
karena salah satu bukti dari
ketaqwaan adalah ilmu. Beribadah
tanpa dasar ilmu bagaikan
ibadahnya orang Nasrani (Kristen)
yang dicap oleh Allah dengan
golongan yang sesat. Seseorang
tidak akan bisa beribadah dan
bertaqwa kepada Allah dengan
baik dan sempurna, kalau tidak
mempunyai bekal ilmu yang
cukup. Sebaliknya kalau hanya
berbekal ilmu saja, tanpa ada
keimanan dan ketaqwaan kepada
Allah juga tidak akan terwujud
sebuah cahaya, karena ia
termasuk type orang Yahudi yang
di murkai oleh Allah. Akhirnya, kita
mengatakan bahwa firasat yang
benar dan yang bisa dipertangg
ung jawabkan, apalagi yang bisa
digunakan sebagai dasar pijakan
untuk memutuskan perkara,
hanyalah dimiliki oleh orang –
orang yang berilmu dan bertaqwa
serta beriman. Semoga Allah
menganugra hkan firasat yang
benar kepada kita semua. aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar