Senin, 27 Desember 2010

INDERA KEENAM APAKAH SUATU ANUGRAH ATAU KELEMAHAN.??

para pakar masih
mencoba memahami
bagaimana bekerjanya
indra ke-enam ini,atau
mungkin lebih tepat lagi,
sedang berusaha
membuktikan apakah
indra ke-enam benar-
benar ada. Karena
banyak sekali klaim indra
ke-enam yang gugur
ketika dilakukan uji
statistik.
Bidang ilmu yang mengaji
fenomena indra ke-enam
ini disebut para-psikologi,
dan sejauh yang saya
tahu sampai saat ini
masih melulu berada
pada tahap observasi,
sama sekali belum sampai
pada perumusan atau
pengembangan teknik-
teknik untuk
membangkitkan indra ke-
enam.
Istilah ilmiah yang
dipakai untuk indra ke-
enam adalah extra
sensory perception(ESP),
yang terjemahan
bebasnya kira-kira
kemampuan untuk
menerima informasi
tanpa melalui indra (yang
lima).
Memang ada beberapa
teori yang coba
menjelaskan fenomena
indra ke-enam,salah
satunya adalah proses
informasi bawah sadar
seperti yang disebut Mas
Dasaman di atas. Tapi,
belum ada yang baku.
Ada dua cara untuk
memperoleh Kelebihan
Allah:
1.Wahbi atau Ladunni :
yaitu kelebihan Allah
yang diperoleh dengan
jalan wahyu atau ilham
tanpa ada usaha, mudah
dan cepat
mendapatkannya karena
langsung dari Allah.
Seperti, para Rasul
dengan wahyu, Nabi
dengan ilham.
2.Kasbi atau Ikhtiyari :
yaitu kelebihan Allah
yang diperoleh dengan
usaha yang keras, sulit
mendapatkannya dan
dalam waktu yang relatif
lama. Seperti, kelebihan
orang shalih yang
diperoleh dengan
istiqomah beribadah atau
menjalankan tasauf
dengan Mujahadah dan
Riyadhoh yang tinggi.
Setiap manusia dapat
memperoleh kelebihan
yang Allah sediakan
untuknya asalkan mereka
mampu menjalannya
dengan baik dan hati
yang bersih atau Allah
memberikan langsung
dengan mudah tanpa
usaha melalui wahyu atau
ilham. Dalam usaha
memperoleh kelebihan
Allah, ada beberapa
tingkat perbedaan
manusia sesuai dengan
akal dan kebisaan
mereka.
1.Hati anak kecil yang
belum sempurna
menerima petunjuk Allah,
ia dapat mengalami
keajaiban Tuhan tetapi
tidak dapat
mengimpretasikan apa-
apa yang dialaminya.
2.Hati yang kotor karena
berbuat maksiat dan
mengikuti hawa nafsu
sehingga tidak dapat
menerima kelebihan
Allah sebelum
dibersihkan terlebih
dahulu.
3.Hati yang labil masih
bimbang mencari sesuatu
keduniaan walaupun
selalu beribadah belum
dapat menerima hakikat
ke-Tuhanan kecuali ia
meninggalkan kesibukan
dunia.
4. Hati yang bodoh
terhadap hakikat ke-
Tuhanan ia beribadah
tetapi tidak mempelajari
tentang hakikat ke-
Tuhanan Allah yang
sebenarnya atau ia tidak
mencari hakikat ke-
Tuhanan Allah.
5.Hati yang terhijab
karena pengaruh
pengetahuan atau
mengikuti sesuatu
ajaran / dogma yang
dapat menutup hatinya
dari hakikat ke-Tuhanan
Allah.
Hati sebagai Wadah
Perwujudan Kelebihan
Allah
Definisi :
Hati menurut ilmu
kedokteran adalah darah
hitam yang beku
mempunyai bentuk
tersendiri letaknya
disebelah kiri dada
(Heart) berfungsi sebagai
penetral darah. Tetapi
Imam Al Gazali tidak
berbicara tentang bentuk
dan fungsinya menurut
ilmu kedokteran hanya
berbicara menurut
pandangan ilmu
kebathinan (Tasauf). Hati
menurut pandangan
Tasauf adalah unsur halus
yang bersifat ke-Tuhanan
dan metafisik yang
berada pada bentuk hati
yang bersifat jasmani.
Lima Pokok Fungsi Hati
1. Allah Mengetahui Hati
Manusia
" Mereka itu adalah
orang-orang yang Allah
mengetahui apa yang ada
didalam hati mereka
" (QS. Annisa:62).
" Dia mengetahui
( pandangan ) mata yang
khianat dan apa yang
tersembunyikan oleh hati
mereka " (QS.Al
Mu'min:19).
Manusia hanya dapat
memandang sesuatu
secara zhahir (nyata) saja
tidak dapat menembus
apa yang ada dalam hati,
maka manusia sering kali
tertipu dengan
penampilan atau
fatamorgana yang
sebenarnya menurut
pandangan Allah adalah
berlainan. Niat dan
Prasangka (Zhon) yang
menjadi Barometer Allah
dalam menilai baik dan
buruknya manusia.
Sabda Nabi: " Amal itu
hanya tergantung dengan
niat " (HR. Bukhari-
Muslim).
" Niat seorang mu'min
untuk nilai amalnya
" (HR. Abu Daud).
" Aku tergantung
prasangka hambaKu
kepadaKu dan Aku
beserta hambaKu apabila
ia berzikir kepadaKu
" (HR. Bukhari).
2. Tempat Pemandangan
Allah
"Sesungguhnya Allah
tidak memandang pada
rupa dan tubuh kamu dan
tidak pada harta kamu,
tetapi Allah memandang
hati dan amal
kamu" (HR.Muslim).
Al Gazali berkata: " Saya
heran manusia sangat
mengutamakan
kebersihan dan
keindahan tubuh
sedangkan hatinya tidak
mereka bersihkan dari
kotoran-kotoran bathin
dan maksiat, padahal
Allah hanya memandang
hati mereka sebagaimana
firman Allah " (QS. Asy-
Syams:7-10).
3. Hati Sebagai
Penggerak Jiwa dan
Semua Anggota Tubuh
Hati di ibaratkan sebagai
tuan dan jasad adalah
budaknya atau sebagai
pemimpin yang mengatur
rakyatnya atau sebagai
pemilik sesuatu yang
dapat melakukan apa
saja terhadap yang
dimilikinya. Jadi hati
adalah pemula yang
mengatur dan
menggerakkan semua
aktivitas anggota tubuh.
Jika hati baik maka akan
baik pula kelakuan
anggota tubuhnya
sebaliknya jika hati buruk
maka buruk pula
kelakuan anggota tubuh
dan gerakan hati atas
Irodat Allah.
Sabda Nabi: "
Sesungguhnya didalam
jasad manusia ada
segumpal darah apabila
segumpal darah itu baik
maka baik pula sekalian
anggota tubuh
sebaliknya, apabila buruk
maka buruk pula
anggotanya, ketahuilah
yaitu hati " (HR. Bukhari-
Muslim).
4. Hati adalah Wadah
untuk Menampung
Keistemewaan Allah
Kelebihan Allah yang
diberikan kepada
manusia tertampung
dalam wadah yang mulia
yaitu hati. Kelebihan
Allah yang ada pada hati
manusia adalah akal,
Bashiroh (Mata bathin),
Niat, Pengetahuan Ilahi /
Hikmah dan yang
tertinggi adalah Ma'rifat.
20 September jam 18:00 ·
Suka · Hapus
Tanya Jawab Masalah
Islam Keutamaan Akal
Akal adalah anggota
tubuh yang dapat
mengetahui segala
hakikat sesuatu secara
Rasional dan dapat
mempertimbangkan
sesuatu yang benar dan
yang salah, akal hanya
dapat mengetahui hal-hal
yang Empiris dan rasional,
akal berfungsi
berdasarkan gerakan
hati. Keputusan akal
sering bertentangan
dengan kemauan hawa
nafsu, karena hawa nafsu
selalu mengajak kepada
hal yang buruk, akal
mempertimbangkan
akibat baik atau
buruknya.
" Boleh jadi kamu
membenci sesuatu,
padahal ia amat baik
bagimu, dan boleh jadi
pula kamu menyukai
sesuatu, padahal ia amat
buruk bagimu. Allah
mengetahui sedangkan
kamu tidak mengetahui
" (QS. Al Baqarah:216)
Keutamaan Bashiroh
Bashiroh lebih dikenal
dengan istilah mata
Bathin atau indra keenam
dari indra manusia yang
lima. Bashiroh menurut
ahli tasauf adalah
kekuatan yang ada pada
hati dengan cahaya Allah
yang dapat melihat
sesuatu yang zhahir dan
yang bathin. Setiap
manusia mempunyai
Bashiroh yang dapat
difungsikan dengan
mempelajari ilmu
kebatinan dan dilatih
untuk melihat sesuatu
yang metafisik dengan
cara gaib. Misalnya
mendeteksi penyakit
yang ada dalam tubuh
manusia atau
meneropong sesuatu
yang telah lalu hilang
tanpa diketahui
keberadaannya.
" Barangsiapa melihat
kebenaran maka
( manfaatnya ) bagi
dirinya sendiri dan
barangsiapa buta maka
kemudharatannya
kembali kepadanya " (QS.
Al An'am:104)
Keutamaan Niat
Niat adalah maksud
mengerjakan sesuatu
disertai dengan
pekerjaan, seperti, Niat
shalat disertai dengan
Takbiratul ihram. Tempat
niat adalah di dalam hati
oleh karenanya niat
mempunyai fungsi utama
didalam ibadah untuk
mendekatkan diri kepada
Allah tidak sah ibadah
yang tidak disertai
dengan niat.
" Amal itu hanya
tergantung dengan niat
dan sesungguhnya amal
setiap orang sesuai
dengan apa yang
diniatkannya " (HR.
Bukhari-Muslim)
Keutamaan Hikmah
" Allah menganugerahkan
al Hikmah kepada siapa
yang dikehendaki. Dan
barangsiapa yang
dianugrahkan al Hikmah
itu, ia benar-benar telah
dianugrahi karunia yang
banyak. Dan hanya
orang-orang yang
berakallah yang dapat
mengambil pelajaran
" (QS. al Baqarah:269). Al
Hikmah adalah
kesempurnaan jiwa
seorang dalam
pengetahuan sesuatu
rahasia dan hukum Allah.
Seseorang yang diberikan
Allah Hikmah maka ia
adalah manusia yang luar
biasa karena dapat
mengetahui rahasia-
rahasia Allah.
Keutamaan Ma'rifat
Ma'rifat adalah mengenal
yang hak pada segala
Asma dan sifatNya
dengan sebenar-
benarnya. Ma'rifat
adalah keistimewaan
yang tertinggi yang ada
pada hati, karena
seseorang yang sudah
ma'rifat hubungan
antaranya dan Allah
sudah sangat dekat dan
harmonis hingga dirinya
menyatu dengan Allah,
sifatnya adalah sifat Allah
dan semua aktivitasnya
adalah qudrat Allah.
" Siapa yang mengenal
dirinya maka ia mengenal
Tuhannya " (al Hadits).
Abu Ali Addaqaq berkata:
" Kehidupan orang yang
Arif selalu tenang tidak
ada rasa takut atau
bersedih hati dan tingkah
lakunya menunjukkan
kehebatan Allah ".
5. Hati Mempunyai Lima
Kelebihan Yang Tidak Ada
Pada Anggota Tubuh yang
lain
1.Tempat persaingan
iman dan syaitan untuk
menguasai
2.Pengendali gerakan
akal dan hawa nafsu
3.Penggerak anggota
tubuh
4.obat untuk
memperbaiki hati sangat
sulit
5. Banyak penyakit hati
Pengetahuan hati lebih
utama dibanding
pengetahuan akal atau
panca indra, karena
pengetahuan akal atau
indra obyeknya terbatas
hanya bersifat Empiris
dan Rasional dan sering
tertipu oleh obyek yang
sedang diamati atau
bersifat Spekulatif yang
sering mengundang
kontradiksi diantara para
ilmuwan. Pengetahuan
hati mempunyai tiga
kelebihan:
1. Pengetahuan hati tidak
terbatas pada sesuatu
yang bersifat Empiris dan
Rasional tetapi dapat
mengetahui sesuatu yang
Metafisik dan yang maha
Muthlak.
2. Pengetahuan hati
dibimbing oleh Ilahi
dengan Wahyu, Intuisi
dan Hidayah.
3. Hati tempat penilaian
Tuhan untuk semua amal
manusia.
Penghalang Dalam
Menerima Kelebihan
Allah
Syaitan selalu berusaha
untuk menghalangi usaha
manusia dalam mencapai
kelebihan Allah dengan
bermacam halangan agar
manusia tidak dipandang
oleh Allah dan jauh dari
rahmatNya. "Syaitan
menakut-nakuti kamu
dengan kemiskinan dan
menyuruh kamu berbuat
kejahatan" (QS.Al
Baqarah:268). Ada
beberapa penghalang
yang menghalangi
manusia untuk mencapai
kelebihan Allah :
1.Perbuatan Maksiat
2.Mengikuti Hawa nafsu
3. Cinta pada dunia
4. Mengikuti dogma /
ajaran yang dilarang
agama.
jadi yang di maksud indra
keenam bisa juga yang
disibut ma'unah bagi
orang bertaqwa. dan hal
ini datang dari alloh.swt.
wallohu'alam

Senin, 20 Desember 2010

APAKAH MASIH ADA ORANG YG MENDAPAT MUKJIZAT.??

Mukjizat merupakan
kejadian/kelebihan di
luar akal manusia yang
tidak dimiliki oleh
siapapun, karena
mukjizat hanya dimilki
oleh para rasul yang
diberikan oleh Allah SWT
kepada para rasul-
Nya.Mukjizat biasanya
berisi tentang tantangan
terhadap apa-apa yang
sedang menjadi trend
pada zaman
diturunkannya mukjizat
tersebut..
Beberapa contoh
mukjizat para nabi dan
rasul:
* Shaleh berupa unta
betina yang tidak boleh
disembelih, sebagai
hujjah atas kaumnya.
* Musa berupa tongkat,
tangan, belalang, kutu,
katak, darah, topan, laut,
dan peristiwa-peristiwa
di Bukit Thur.
* Isa berupa kemampuan
menyembuhkan orang
buta, menyembuhkan
penderita kusta dan
menghidupkan orang
mati.
* Muhammad berupa Isra
dan Mi'raj, membelah
bulan untuk
membuktikan
kenabiannya terhadap
orang Yahudi,
bertasbihnya kerikil di
tangannya, batang kurma
yang menangis,
pemberitaan Muhammad
tentang peristiwa-
peristiwa masa depan
ataupun masa lampau,
tetapi mukjizat yang
terbesar adalah Al-
Qur ’an.
Karomah secara
etimologi berasal dari
kata berbahasa Arab
"karoma" yang artinya
hormat/menghormati/
penghormatan/
pemuliaa… Karomah
dalam terminologi ulama
ilmu tauhid adalah hal/
perkara atau suatu
kejadian yang luar biasa
diluar nalar dan
kemampuan manusia
awam yang terjadi pada
diri seorang wali Alloh.
Munculnya karomah pada
diri seorang wali Alloh
adalah sebagai
penghormatan/pemuliaan
terhadap dirinya dan
sebagai isyarat dari Alloh
bagi terkabulnya/
diterimanya eksistensi
diri seorang wali tersebut
di sisi Alloh.
Contoh kejadian yang
dapat dikatakan sebagai
karomah sangatlah
banyak. Dapat kita ambil
beberapa contoh dari
para sahabat yang
eksistensi dirinya tidak
diragukan lagi:
* Yang terjadi pada Usayd
ibn Hudhoyr ketika
membaca Surah Al-Kahfi,
para malaikat turun oleh
sebab bacaannya
tersebut.
* Imron ibn Hushain,
malaikat memberi salam
kepadanya.
* Sa ’ad ibn Abi Waqqash,
selalu dikabulkan
do ’anya.
* 'Amir ibn Fuhairoh,
ketika syahid jasadnya
diangkat oleh para
malaikat, hal ini dilihat
oleh sahabatnya ‘Amir ibn
Ath-Thufayl.
wallohu'lam

Senin, 13 Desember 2010

MIMPI DI SURUH BELI DAGING BABI

Mimpi bisa jadi isyarat
yang diberikan oleh Allah
kepada hambanya berupa
berita baik atau buruk
dan mimpi ada yang
memiliki makna dan ada
pula yang berupa mimpi
kosong sekadar
permainan setan kepada
manusia.
Banyak ayat Al Quran dan
riwayat Nabi yang
bercerita tentang mimpi.
Misalnya, dalam Surat
Ash-Shaaffaat (37) ayat
102 yang mengisahkan
mimpi Ibrahim ketika ia
diharuskan menyembelih
putranya, Ismail. Juga
dalam Surat Al Fath (48)
ayat 27 mengenai mimpi
Rasulullah sebelum
terjadinya Perjanjian
Hudaibiyah.
Tak hanya para nabi,
para sahabat pun pernah
mengalami mimpi yang
pada akhirnya terbukti
kebenarannya. Tak
seperti mimpi nabi yang
sangat terang dan tak
perlu ditakwilkan lagi
karena merupakan wahyu
dari Allah, mimpi para
sahabat ada yang perlu
ditakwilkan
– seperti mimpi Abu
Bakar yang menaiki
tangga bersama
Rasulullah, tetapi mereka
berselisih dua anak
tangga. Dalam takwilnya,
Abu Bakar menyatakan
bahwa kematiannya akan
datang dua tahun setelah
Rasulullah, dan itu benar-
benar terjadi — dan
mimpi yang tidak perlu
ditakwilkan
– seperti mimpi Bilal yang
melafazkan bacaan-
bacaan azan. Ketika
melaporkannya kepada
Rasulullah saw., beliau
mengatakan bahwa
mimpinya adalah benar.
Rasulullah saw. bersabda,
“ Jika masa semakin
dekat, mimpi seorang
muslim nyaris tidak
pernah dusta. Muslim
yang paling benar
mimpinya adalah yang
paling jujur
perkataannya. Mimpi
seorang mukmin
merupakan satu bagian
dari 46 bagian
kenabian.... ” (Muttafaq
‘alaih). Ini berarti mimpi
seorang mukmin memiliki
pertimbangan 1/46
karena 45/46 diberikan
pada nabi.
"Raja berkata (kepada
orang-orang terkemuka
dari kaumnya),
'Sesungguhnya aku
bermimpi melihat tujuh
ekor sapi betina yang
gemuk-gemuk dimakan
oleh tujuh ekor sapi
betina yang kurus-kurus
dan tujuh bulir (gandum)
yang hijau dan tujuh bulir
lainnya yang kering. Hai
orang-orang yang
terkemuka, terangkanlah
kepadaku tentang takbir
mimpiku itu jika kamu
dapat menakbirkan
mimpi. ’” (Q.S. Yusuf 12:
43)
Ayat di atas merupakan
salah satu contoh ayat
yang menjelaskan
mengenai sahnya mimpi
seorang kafir, jika isi
mimpinya berkaitan
dengan orang mukmin.
Ada juga mimpi yang
dianugerahkan Allah
kepada yang
dikehendakinya agar ia
mendapatkan hidayah. Ini
berdasarkan riwayat al-
Hakim mengenai
keislaman seorang
seorang sahabat, Khalid
bin Sa ’id bin ‘Ash.
Keislaman ini terjadi
setelah Khalid mengalami
mimpi yang sangat
menyeramkan. Dalam
mimpinya, dia melihat
seakan-akan ayahnya
hendak mendorongnya ke
neraka, sementara
Rasulullah saw. berusaha
memegang pinggangnya
agai ia tidak terjatuh.
Juga atas dasar tafsiran
Ibn Hasyirin ketika ia
didatangi seseorang yang
bermimpi jari-jari
tangannya yang ketiga
dan keempat buntung. Ia
menakwilkan bahwa
mimpi tersebut sebagai
peringatan pada orang
itu karena shalatnya
bolong-bolong.
Sepulangnya dari
bertemu Ibn Hasyirin, ia
pun bertobat.
Seorang yang merasa
telah mengalami mimpi
yang benar, janganlah
bertindak sembrono
meminta sembarang
orang untuk
menakwilkan mimpi yang
dialaminya. Janganlah ia
menceritakannya kepada
orang yang dengki dan
dendam dan kepada
orang yang jahil yang
ucapannya tertolak
tetapi ceritakanlah
kepada orang yang
berilmu, para ulama yang
memiliki keutamaan,
orang-orang yang dalam
pemahaman terhadap
dien Islam.
Rasulullah saw. bersabda,
“ Mimpi itu ada tiga.
Mimpi yang baik
merupakan kabar
gembira dari Allah. Mimpi
yang menyedihkan
berasal dari setan, dan
mimpi yang datang dari
obsesi seseorang. Jika
salah seorang di antara
kalian mimpi yang
menyedihkan maka
hendaklah dia bangun
lalu shalat dan tidak
menceritakannya pada
orang lain. ” (H.R. Bukhari
dan Muslim)
Rasulullah saw. bersabda,
“ Mimpi yang baik adalah
dari Allah. Sedangkan
mimpi yang menakutkan
berasal dari setan.
Barangsiapa mimpi yang
tidak menyenangkan
maka hendaklah dia
meludah ke sebelah
kirinya tiga kali dan
berlindung diri kepada
Allah dari setan, maka
mimpi tersebut tidak
akan
membahayakannya” (H.R.
Bukhari dan Muslim)
semoga yang anda
mimpikan anda akan
menjadi naik drajatnya.
wallohu'alam

Jumat, 03 Desember 2010

APA PERBEDAAN CURIGA FIRASAT DAN SU'UDHON.??

Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
يَاأَيُّهَ ا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُو ا
كَثِيرًا مِن ￙ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ
إِثْمٌ
“ Wahai orang-oran g yang
beriman, jauhilah oleh kalian
kebanyakan dari persangkaa n
( zhan) karena sesungguhn ya
sebagian dari persangkaa n itu
merupakan dosa. ” (Al- Hujura t: 12)
Dalam ayat di atas, Allah
Subhanahu wa Ta ’ ala memerintah
kan untuk menjauhi kebanyakan
dari prasangka dan tidak
mengatakan agar kita menjauhi
semua prasangka. Karena
memang prasangka yang
dibangun di atas suatu qarinah
(tanda-tan da yang menunjukka n
ke arah tersebut) tidaklah
terlarang. Hal itu merupakan tabiat
manusia. Bila ia mendapatka n
qarinah yang kuat maka timbullah
zhannya, apakah zhan yang baik
ataupun yang tidak baik. Yang
namanya manusia memang mau
tidak mau akan tunduk menuruti
qarinah yang ada. Yang seperti ini
tidak apa-apa. Yang terlarang
adalah berprasang ka semata-mat
a tanpa ada qarinah. Inilah zhan
yang diperingat kan oleh Nabi
Shallallah u ‘ alaihi wa sallam dan
dinyatakan oleh beliau sebagai
pembicaraa n yang paling dusta.
( Syarhu Riyadhis Shalihin, 3 /191)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahull
ahu berkata, “Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman melarang hamba-
hamb a-Nya dari banyak
persangkaa n, yaitu menuduh dan
menganggap khianat kepada
keluarga, kerabat dan orang lain
tidak pada tempatnya. Karena
sebagian dari persangkaa n itu
adalah dosa yang murni, maka
jauhilah kebanyakan dari
persangkaa tersebut dalam rangka
kehati-hat ian. Kami meriwayatk
an dari Amirul Mukminin Umar ibnul
Khaththab radhiyalla hu ‘anhu
beliau berkata, ‘Janganlah sekali-
kal i engkau berprasang ka kecuali
kebaikan terhadap satu kata yang
keluar dari saudaramu yang
mukmin, jika memang engkau
dapati kemungkina n kebaikan
pada kata tersebut ’. ” (Tafsir Ibnu
Katsir, 7/291) Abu Hurairah
radhiyalla hu ‘anhu pernah
menyampaik an sebuah hadits
Rasulullah Shallallah u ‘alaihi wa
sallam yang berbunyi: “Hati-hati
kalian dari persangkaa n yang
buruk (zhan) karena zhan itu
adalah ucapan yang paling dusta.
Janganlah kalian mendengark an
ucapan orang lain dalam keadaan
mereka tidak suka. Janganlah
kalian mencari-ca ri aurat/caca t/
cela orang lain. Jangan kalian
berlomba-l omba untuk menguasai
sesuatu. Janganlah kalian saling
hasad, saling benci, dan saling
membelakan gi. Jadilah kalian
hamba-hamb Allah yang
bersaudara sebagaiman a yang Dia
perintahka n. Seorang muslim
adalah saudara bagi muslim yang
lain, maka janganlah ia menzalimi
saudaranya , jangan pula tidak
memberikan pertolonga n/
bantuan kepada saudaranya dan
jangan merendahka nnya. Takwa
itu di sini, takwa itu di sini. ” Beliau
mengisyara tkan ( menunjuk) ke
arah dadanya. “Cukuplah
seseorang dari kejelekan bila ia
merendahka n saudaranya sesama
muslim. Setiap muslim terhadap
muslim yang lain, haram darahnya,
kehormatan dan hartanya.
Sesungguhn ya Allah tidak melihat
ke tubuh-tubu h kalian, tidak pula
ke rupa kalian akan tetapi ia
melihat ke hati-hati dan amalan
kalian. ” (HR. ِAl-Bukhar i no. 6066
dan Muslim no. 6482) Zhan yang
disebutkan dalam hadits di atas
dan juga di dalam ayat, kata ulama
kita, adalah tuhmah (tuduhan).
Zhan yang diperingat kan dan
dilarang adalah tuhmah tanpa ada
sebabnya. Seperti seseorang yang
dituduh berbuat fahisyah (zina)
atau dituduh minum khamr
padahal tidak tampak darinya
tanda-tand a yang mengharusk an
dilemparka nnya tuduhan tersebut
kepada dirinya. Dengan demikian,
bila tidak ada tanda-tand a yang
benar dan sebab yang zahir
(tampak), maka haram berzhan
yang jelek. Terlebih lagi kepada
orang yang keadaannya tertutup
dan yang tampak darinya
hanyalah kebaikan/k eshalihan.
Beda halnya dengan seseorang
yang terkenal di kalangan manusia
sebagai orang yang tidak baik,
suka terang-ter angan berbuat
maksiat, atau melakukan hal-hal
yang mendatangk an kecurigaan
seperti keluar masuk ke tempat
penjualan khamr, berteman
dengan para wanita penghibur
yang fajir, suka melihat perkara
yang haram dan sebagainya .
Orang yang keadaannya seperti ini
tidaklah terlarang untuk berburuk
sangka kepadanya. (Al-Jami ’ li
Ahkamil Qur`an 16 /217 , Ruhul
Ma ’ani 13/ 219) Al-Imam Al-
Qurthub i rahimahull ahu
menyebutka n dari mayoritas
ulama dengan menukilkan dari Al-
Mahdawi , bahwa zhan yang buruk
terhadap orang yang zahirnya baik
tidak dibolehkan . Sebaliknya tidak
berdosa berzhan yang jelek
kepada orang yang zahirnya jelek.
(Al Jami ’ li Ahkamil Qur`an,
16 /218) Karenanya, Ibnu Hubairah
Al-Wazir Al- Hanbali berkata, “Demi
Allah, tidak halal berbaik sangka
kepada orang yang menolak
kebenaran, tidak pula kepada
orang yang menyelisih i
syariat. ” (Al-Adabus Syar’iyyah
1 /70)
Dari hadits: Al-Imam An-Nawawi
rahimahull ahu berkata menjelaska
n ucapan Al-Khathth abi tentang
zhan yang dilarang dalam hadits
ini, “Zhan yang diharamkan adalah
zhan yang terus menetap pada diri
seseorang, terus mendiami hatinya,
bukan zhan yang sekadar terbetik
di hati lalu hilang tanpa
bersemayam di dalam hati. Karena
zhan yang terakhir ini di luar
kemampuan seseorang.
Sebagaiman a yang telah lewat
dalam hadits bahwa Allah
Subhanahu wa Ta ’ala memaafkan
umat ini dari apa yang terlintas di
hatinya selama ia tidak
mengucapka nnya atau ia
bersengaja 1. ” (Al- Minhaj ,
16 /335) Sufyan rahimahull ahu
berkata, “Zhan yang mendatangk
an dosa adalah bila seseorang
berzhan dan ia membicarak annya.
Bila ia diam /menyimpan nya dan
tidak membicarak an nya maka ia
tidak berdosa. ” Dimungkink an
pula, kata Al-Qadhi ‘Iyadh
rahimahull ahu, bahwa zhan yang
dilarang adalah zhan yang murni /
tidak beralasan, tidak dibangun di
atas asas dan tidak didukung
dengan bukti. (Ikmalul Mu ’lim bi
Fawa`id Muslim, 8 /28) Kepada
seorang muslim yang secara zahir
baik agamanya serta menjaga
kehormatan nya, tidaklah pantas
kita berzhan buruk. Bila sampai
pada kita berita yang “miring”
tentangnya maka tidak ada yang
sepantasny a kita lakukan kecuali
tetap berbaik sangka kepadanya.
Karena itu, tatkala terjadi peristiwa
Ifk di masa Nubuwwah, di mana
orang-oran g munafik menyebarka
n fitnah berupa berita dusta bahwa
istri Rasulullah Shallallah u ‘alaihi wa
sallam yang mulia, shalihah, dan
thahirah ( suci dari perbuatan nista)
Aisyah radhiyalla hu ‘anha berzina,
wal’iyadzu billah, dengan sahabat
yang mulia Shafwan ibnu Mu’
aththal radhiyalla hu ‘anhu, Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengingatk
an kepada hamba-hamb a-Nya
yang beriman agar tetap
berprasang ka baik dan tidak ikut-
ikuta n dengan munafikin
menyebarka n kedustaan tersebut.
Dalam Tanzil-Nya , Dia Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
لَوْلاَ إِذْ سَمِعْتُمُ وهُ ظَنَّ
الْمُؤْمِن َنوُ وَالْمُؤْم ُتاَنِ بِأَنْفُسِ
هِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْك ￙ مُبِينٌ
“Mengapa di waktu kalian
mendengar berita bohong tersebut,
orang-oran g mukmin dan
mukminah tidak bersangka baik
terhadap diri mereka sendiri dan
mengapa mereka tidak berkata,
‘ Ini adalah sebuah berita bohong
yang nyata’.” (An- Nur: 12) Dalam
Al-Qur`anu l Karim, Allah
Subhanahu wa Ta ’ala mencela
orang-oran g Badui yang takut
berperang ketika mereka diajak
untuk keluar bersama pasukan
mujahidin yang dipimpin oleh
Rasulullah Shallallah u ‘alaihi wa
sallam. Orang-oran g Badui ini
dihinggapi dengan zhan yang jelek.
سَيَقُولُ لَكَ الْمُخَلَّ فُونَ مِنَ
اْلأَعْرَا ب ￙ شَغَلَتْنَ ا أَمْوَالُن اَ
وَأَهْلُون اَ فَاسْتَغْف ْرِ لَنَا
يَقُولُونَ بِأَلْسِنَ تِهِمْ مَا لَيْسَ
فِي قُلُوبِهِم ￙ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ
لَكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا إِن ￙ أَرَادَ بِكُمْ
ضَرًّا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ نَفْعًا بَل ￙ كَانَ
اللهُ بِمَا تَعْمَلُون َ خَبِيرًا. بَلْ
ظَنَنْتُمْ أَنْ لَنْ يَنْقَلِبَ الرَّسُولُ
وَالْمُؤْم َنوُنِ إِلَ ￙ أَهْلِيهِم ْ أَبَدًا
وَزُيِّنَ ذَلِكَ فِي قُلُوبِكُم ￙
وَظَنَنْتُ مْ ظَنَّ السَّوْءِ وَكُنْتُمْ
قَوْمًا بُورًا
“Orang-ora ng Badui yang
tertinggal (tidak turut ke
Hudaibiyah ) akan mengatakan , ‘
Harta dan keluarga kami telah
menyibukka n kami, maka
mohonkanla h ampunan untuk
kami. ’ Mereka mengucapka n
dengan lidah mereka apa yang
tidak ada di dalam hati mereka.
Katakanlah , “Maka siapakah
gerangan yang dapat menghalang
i-halangi kehendak Allah jika Dia
menghendak i kemudarata n bagi
kalian atau jika Dia menghendak i
manfaat bagi kalian. Bahkan Allah
Maha Mengetahui apa yang kalian
kerjakan. Tetapi kalian menyangka
bahwa Rasul dan orang-oran g
yang beriman sekali-kal i tidak
akan kembali kepada keluarga
mereka selama-lam anya dan
setan telah menjadikan kalian
memandang baik dalam hati kalian
persangkaa n tersebut. Dan kalian
telah menyangka dengan
sangkaan yang buruk, kalian pun
menjadi kaum yang binasa. ” (Al-
Fath: 11-12)
يَا أَيُّهَ ￘ الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُو ا
عَدُوِّي وَعَدُوَّك ُم￙ أَوْلِيَاء ￙
Hai orang-oran g yang beriman,
janganlah kalian mengambil
musuh-Ku dan musuh kalian
sebagai teman-tema n setia (QS al-
Mumtaha nah [60 ]: 1). Karena itu,
umat Islam tentu harus waspada,
karena Allah SWT telah berfirman:
وَاعْتَصِ مُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا
وَلاَ تَفَرَّقُو
Berpegang teguhlah kalian
semuanya pada tali (agama) Allah
dan janganlah bercerai-b erai (QS
Ali ‘Imran [3]: 103). Allah SWT telah
berfirman: ]
الَّذِينَ يَتَّخِذُو نَ الْكَافِرِ ينَ
أَوْلِيَاء َ مِن ￙ دُونِ الْمُؤْمِن ِين￙
(Orang-ora ng munafik itu) ialah
mereka yang mengambil orang-
oran g kafir sebagai teman-tema n
penolong dengan meninggalk an
orang-oran g Mukmin (QS an-
Nisa ’ [4]: 139). . Allah SWT
berfirman: ]
وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُو نَكُمْ حَتَّى
يَرُدُّوكُ م ￙ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُ
و￘
Orang-oran g kafir tidak henti-hent
inya berusaha memerangi kalian
hingga mereka berhasil
mengeluark an kalian dari agama
kalian —jik a saja mereka mampu
(QS al- Baqarah [2 ]: 217). maka
dari itu ummat islam harus
waspada terhadap orang2 kapir
yang mau memecah belahkan
umat islam

APA PERBEDAAN CURIGA FIRASAT DAN SU'UDHON.??

Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
يَاأَيُّهَ ا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُو ا
كَثِيرًا مِن ￙ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ
إِثْمٌ
“ Wahai orang-oran g yang
beriman, jauhilah oleh kalian
kebanyakan dari persangkaa n
( zhan) karena sesungguhn ya
sebagian dari persangkaa n itu
merupakan dosa. ” (Al- Hujura t: 12)
Dalam ayat di atas, Allah
Subhanahu wa Ta ’ ala memerintah
kan untuk menjauhi kebanyakan
dari prasangka dan tidak
mengatakan agar kita menjauhi
semua prasangka. Karena
memang prasangka yang
dibangun di atas suatu qarinah
(tanda-tan da yang menunjukka n
ke arah tersebut) tidaklah
terlarang. Hal itu merupakan tabiat
manusia. Bila ia mendapatka n
qarinah yang kuat maka timbullah
zhannya, apakah zhan yang baik
ataupun yang tidak baik. Yang
namanya manusia memang mau
tidak mau akan tunduk menuruti
qarinah yang ada. Yang seperti ini
tidak apa-apa. Yang terlarang
adalah berprasang ka semata-mat
a tanpa ada qarinah. Inilah zhan
yang diperingat kan oleh Nabi
Shallallah u ‘ alaihi wa sallam dan
dinyatakan oleh beliau sebagai
pembicaraa n yang paling dusta.
( Syarhu Riyadhis Shalihin, 3 /191)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahull
ahu berkata, “Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman melarang hamba-
hamb a-Nya dari banyak
persangkaa n, yaitu menuduh dan
menganggap khianat kepada
keluarga, kerabat dan orang lain
tidak pada tempatnya. Karena
sebagian dari persangkaa n itu
adalah dosa yang murni, maka
jauhilah kebanyakan dari
persangkaa tersebut dalam rangka
kehati-hat ian. Kami meriwayatk
an dari Amirul Mukminin Umar ibnul
Khaththab radhiyalla hu ‘anhu
beliau berkata, ‘Janganlah sekali-
kal i engkau berprasang ka kecuali
kebaikan terhadap satu kata yang
keluar dari saudaramu yang
mukmin, jika memang engkau
dapati kemungkina n kebaikan
pada kata tersebut ’. ” (Tafsir Ibnu
Katsir, 7/291) Abu Hurairah
radhiyalla hu ‘anhu pernah
menyampaik an sebuah hadits
Rasulullah Shallallah u ‘alaihi wa
sallam yang berbunyi: “Hati-hati
kalian dari persangkaa n yang
buruk (zhan) karena zhan itu
adalah ucapan yang paling dusta.
Janganlah kalian mendengark an
ucapan orang lain dalam keadaan
mereka tidak suka. Janganlah
kalian mencari-ca ri aurat/caca t/
cela orang lain. Jangan kalian
berlomba-l omba untuk menguasai
sesuatu. Janganlah kalian saling
hasad, saling benci, dan saling
membelakan gi. Jadilah kalian
hamba-hamb Allah yang
bersaudara sebagaiman a yang Dia
perintahka n. Seorang muslim
adalah saudara bagi muslim yang
lain, maka janganlah ia menzalimi
saudaranya , jangan pula tidak
memberikan pertolonga n/
bantuan kepada saudaranya dan
jangan merendahka nnya. Takwa
itu di sini, takwa itu di sini. ” Beliau
mengisyara tkan ( menunjuk) ke
arah dadanya. “Cukuplah
seseorang dari kejelekan bila ia
merendahka n saudaranya sesama
muslim. Setiap muslim terhadap
muslim yang lain, haram darahnya,
kehormatan dan hartanya.
Sesungguhn ya Allah tidak melihat
ke tubuh-tubu h kalian, tidak pula
ke rupa kalian akan tetapi ia
melihat ke hati-hati dan amalan
kalian. ” (HR. ِAl-Bukhar i no. 6066
dan Muslim no. 6482) Zhan yang
disebutkan dalam hadits di atas
dan juga di dalam ayat, kata ulama
kita, adalah tuhmah (tuduhan).
Zhan yang diperingat kan dan
dilarang adalah tuhmah tanpa ada
sebabnya. Seperti seseorang yang
dituduh berbuat fahisyah (zina)
atau dituduh minum khamr
padahal tidak tampak darinya
tanda-tand a yang mengharusk an
dilemparka nnya tuduhan tersebut
kepada dirinya. Dengan demikian,
bila tidak ada tanda-tand a yang
benar dan sebab yang zahir
(tampak), maka haram berzhan
yang jelek. Terlebih lagi kepada
orang yang keadaannya tertutup
dan yang tampak darinya
hanyalah kebaikan/k eshalihan.
Beda halnya dengan seseorang
yang terkenal di kalangan manusia
sebagai orang yang tidak baik,
suka terang-ter angan berbuat
maksiat, atau melakukan hal-hal
yang mendatangk an kecurigaan
seperti keluar masuk ke tempat
penjualan khamr, berteman
dengan para wanita penghibur
yang fajir, suka melihat perkara
yang haram dan sebagainya .
Orang yang keadaannya seperti ini
tidaklah terlarang untuk berburuk
sangka kepadanya. (Al-Jami ’ li
Ahkamil Qur`an 16 /217 , Ruhul
Ma ’ani 13/ 219) Al-Imam Al-
Qurthub i rahimahull ahu
menyebutka n dari mayoritas
ulama dengan menukilkan dari Al-
Mahdawi , bahwa zhan yang buruk
terhadap orang yang zahirnya baik
tidak dibolehkan . Sebaliknya tidak
berdosa berzhan yang jelek
kepada orang yang zahirnya jelek.
(Al Jami ’ li Ahkamil Qur`an,
16 /218) Karenanya, Ibnu Hubairah
Al-Wazir Al- Hanbali berkata, “Demi
Allah, tidak halal berbaik sangka
kepada orang yang menolak
kebenaran, tidak pula kepada
orang yang menyelisih i
syariat. ” (Al-Adabus Syar’iyyah
1 /70)
Dari hadits: Al-Imam An-Nawawi
rahimahull ahu berkata menjelaska
n ucapan Al-Khathth abi tentang
zhan yang dilarang dalam hadits
ini, “Zhan yang diharamkan adalah
zhan yang terus menetap pada diri
seseorang, terus mendiami hatinya,
bukan zhan yang sekadar terbetik
di hati lalu hilang tanpa
bersemayam di dalam hati. Karena
zhan yang terakhir ini di luar
kemampuan seseorang.
Sebagaiman a yang telah lewat
dalam hadits bahwa Allah
Subhanahu wa Ta ’ala memaafkan
umat ini dari apa yang terlintas di
hatinya selama ia tidak
mengucapka nnya atau ia
bersengaja 1. ” (Al- Minhaj ,
16 /335) Sufyan rahimahull ahu
berkata, “Zhan yang mendatangk
an dosa adalah bila seseorang
berzhan dan ia membicarak annya.
Bila ia diam /menyimpan nya dan
tidak membicarak an nya maka ia
tidak berdosa. ” Dimungkink an
pula, kata Al-Qadhi ‘Iyadh
rahimahull ahu, bahwa zhan yang
dilarang adalah zhan yang murni /
tidak beralasan, tidak dibangun di
atas asas dan tidak didukung
dengan bukti. (Ikmalul Mu ’lim bi
Fawa`id Muslim, 8 /28) Kepada
seorang muslim yang secara zahir
baik agamanya serta menjaga
kehormatan nya, tidaklah pantas
kita berzhan buruk. Bila sampai
pada kita berita yang “miring”
tentangnya maka tidak ada yang
sepantasny a kita lakukan kecuali
tetap berbaik sangka kepadanya.
Karena itu, tatkala terjadi peristiwa
Ifk di masa Nubuwwah, di mana
orang-oran g munafik menyebarka
n fitnah berupa berita dusta bahwa
istri Rasulullah Shallallah u ‘alaihi wa
sallam yang mulia, shalihah, dan
thahirah ( suci dari perbuatan nista)
Aisyah radhiyalla hu ‘anha berzina,
wal’iyadzu billah, dengan sahabat
yang mulia Shafwan ibnu Mu’
aththal radhiyalla hu ‘anhu, Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengingatk
an kepada hamba-hamb a-Nya
yang beriman agar tetap
berprasang ka baik dan tidak ikut-
ikuta n dengan munafikin
menyebarka n kedustaan tersebut.
Dalam Tanzil-Nya , Dia Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
لَوْلاَ إِذْ سَمِعْتُمُ وهُ ظَنَّ
الْمُؤْمِن َنوُ وَالْمُؤْم ُتاَنِ بِأَنْفُسِ
هِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْك ￙ مُبِينٌ
“Mengapa di waktu kalian
mendengar berita bohong tersebut,
orang-oran g mukmin dan
mukminah tidak bersangka baik
terhadap diri mereka sendiri dan
mengapa mereka tidak berkata,
‘ Ini adalah sebuah berita bohong
yang nyata’.” (An- Nur: 12) Dalam
Al-Qur`anu l Karim, Allah
Subhanahu wa Ta ’ala mencela
orang-oran g Badui yang takut
berperang ketika mereka diajak
untuk keluar bersama pasukan
mujahidin yang dipimpin oleh
Rasulullah Shallallah u ‘alaihi wa
sallam. Orang-oran g Badui ini
dihinggapi dengan zhan yang jelek.
سَيَقُولُ لَكَ الْمُخَلَّ فُونَ مِنَ
اْلأَعْرَا ب ￙ شَغَلَتْنَ ا أَمْوَالُن اَ
وَأَهْلُون اَ فَاسْتَغْف ْرِ لَنَا
يَقُولُونَ بِأَلْسِنَ تِهِمْ مَا لَيْسَ
فِي قُلُوبِهِم ￙ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ
لَكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا إِن ￙ أَرَادَ بِكُمْ
ضَرًّا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ نَفْعًا بَل ￙ كَانَ
اللهُ بِمَا تَعْمَلُون َ خَبِيرًا. بَلْ
ظَنَنْتُمْ أَنْ لَنْ يَنْقَلِبَ الرَّسُولُ
وَالْمُؤْم َنوُنِ إِلَ ￙ أَهْلِيهِم ْ أَبَدًا
وَزُيِّنَ ذَلِكَ فِي قُلُوبِكُم ￙
وَظَنَنْتُ مْ ظَنَّ السَّوْءِ وَكُنْتُمْ
قَوْمًا بُورًا
“Orang-ora ng Badui yang
tertinggal (tidak turut ke
Hudaibiyah ) akan mengatakan , ‘
Harta dan keluarga kami telah
menyibukka n kami, maka
mohonkanla h ampunan untuk
kami. ’ Mereka mengucapka n
dengan lidah mereka apa yang
tidak ada di dalam hati mereka.
Katakanlah , “Maka siapakah
gerangan yang dapat menghalang
i-halangi kehendak Allah jika Dia
menghendak i kemudarata n bagi
kalian atau jika Dia menghendak i
manfaat bagi kalian. Bahkan Allah
Maha Mengetahui apa yang kalian
kerjakan. Tetapi kalian menyangka
bahwa Rasul dan orang-oran g
yang beriman sekali-kal i tidak
akan kembali kepada keluarga
mereka selama-lam anya dan
setan telah menjadikan kalian
memandang baik dalam hati kalian
persangkaa n tersebut. Dan kalian
telah menyangka dengan
sangkaan yang buruk, kalian pun
menjadi kaum yang binasa. ” (Al-
Fath: 11-12)
يَا أَيُّهَ ￘ الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُو ا
عَدُوِّي وَعَدُوَّك ُم￙ أَوْلِيَاء ￙
Hai orang-oran g yang beriman,
janganlah kalian mengambil
musuh-Ku dan musuh kalian
sebagai teman-tema n setia (QS al-
Mumtaha nah [60 ]: 1). Karena itu,
umat Islam tentu harus waspada,
karena Allah SWT telah berfirman:
وَاعْتَصِ مُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا
وَلاَ تَفَرَّقُو
Berpegang teguhlah kalian
semuanya pada tali (agama) Allah
dan janganlah bercerai-b erai (QS
Ali ‘Imran [3]: 103). Allah SWT telah
berfirman: ]
الَّذِينَ يَتَّخِذُو نَ الْكَافِرِ ينَ
أَوْلِيَاء َ مِن ￙ دُونِ الْمُؤْمِن ِين￙
(Orang-ora ng munafik itu) ialah
mereka yang mengambil orang-
oran g kafir sebagai teman-tema n
penolong dengan meninggalk an
orang-oran g Mukmin (QS an-
Nisa ’ [4]: 139). . Allah SWT
berfirman: ]
وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُو نَكُمْ حَتَّى
يَرُدُّوكُ م ￙ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُ
و￘
Orang-oran g kafir tidak henti-hent
inya berusaha memerangi kalian
hingga mereka berhasil
mengeluark an kalian dari agama
kalian —jik a saja mereka mampu
(QS al- Baqarah [2 ]: 217). maka
dari itu ummat islam harus
waspada terhadap orang2 kapir
yang mau memecah belahkan
umat islam

FIRASAT ITU APA.??

“ Hati- hatilah dengan firasat orang
yang beriman, karena dia melihat
dengan cahaya Allah “ ( HR Tirmidzi
dengan sanad lemah ,dalam Al
Sunan, Kitab : Tafsir, Bab : Tafsir
surat Al Hijr ( hadits 3127 ) Firasat ,
kalau kita kaji dengan teliti,
ternyata terdapat di dalam ajaran
Islam. Dalilnya, selain hadits di atas,
adalah beberapa ayat Al Qur’an
yang menyentuh masalah firasat
tersebut, diantarany a adalah
firman Allah: إن في ذلك لآيات
للمتوسمين “ Sesungguhn ya
pada peristiwa itu terdapat tanda-
tanda bagi orang – orang yang “ Al
Mutawassim in “ ( QS Al Hijr : 75 ) Al
Mutawasimi n menurut pengertian
ulama adalah orang-oran g yang
mempunyai firasat, yaitu mereka
yang mampu mengetahui suatu
hal dengan mempelajar i tanda-
tand anya. Sebagaiman a firman
Allah : ولو نشاء لأريناكهم
فلعرفتهم بسيماهم “
Sekiranya Kami kehendaki, niscaya
Kami tunjukkan mereka
kepadamu, sehingga kamu benar-
benar mengetahui mereka dengan
tanda- tandanya “ ( Qs
Muhammad : 30 ) Allah juga
berfirman : يحسبهم الجاهل
أغنياء من التعفف تعرفهم
بسيماهم “ Orang – orang yang
bodoh menyangka mereka adalah
orang kaya, karena mereka
memelihara diri dari meminta-
minta , kamu mengetahui mereka
dengan tanda- tandanya “ ( QS Al
Baqarah : 273 ) Walaupun hadits di
atas sanadya lemah, namun
makna dan artinya tidak
bertentang an dengan ajaran
Islam . Banyak hal yang
membuktika n bahwa orang yang
beriman mampu memandang
sesuatu dengan tepat dan akurat.
Karena Allah memberikan
kekuatan kepada orang yang
beriman kepada-Nya , yang mana
hal itu tidak diberikan kepada
orang lain. Kekuatan yang
diberikan Allah tersebut, tidak
hanya terbatas kepada cara
memandang, melihat,
memutuskan suatu perkara
ataupun mencarikan jalan keluar.
Akan tetapi, kekuatan tersebut
mencakup seluruh aspek
kehidupan ini. Orang yang beriman
mempunyai kelebihan kekuatan
dalam bersabar menghadapi ujian
dan cobaan, karena dia yakin
bahwa hanya Allah-lah yang
mampu menyelamat kan dan
memberikan jalan keluar dari ujian
tersebut, sekaligus berharap dari
ujian tersebut, bahwa dia akan
mendapatka n pahala di sisi-Nya
dan akan menambah ketinggian
derajatnya di akherat kelak.
Apalagi tatkala dia mendengar
hadits yang menyatakan : “ Jika
Allah mencintai hamban-Nya ,
niscaya Dia akan mengujinya“,
tentunya , dia akan bertambah
sabar , tabah dan tegar. Di dalam
peperangan , orang yang
berimanpun mempunyai stamina
dan keberanian yang lebih, karena
mati syahid adalah sesuatu yang
didambakan . Mati mulia yang
akan mengantark annya kepada
syurga nan abadi tanpa harus
dihisab dahulu. Belum lagi nilai jihad
yang begitu tinggi, yang
merupakan “ puncak “ ajaran
Islam, suatu amalan yang kadang,
bisa menjadi wasilah ( sarana )
untuk menghapusk an dosa-dosan
ya, walaupun dosa tersebut begitu
besar, seperti yang dialami oleh
Ibnu Abi Balta ’ah seorang sahabat
yang terbukti berbuat salah,
dengan membocorka n rahasia
pasukan Islam yang mau
menyerang Makkah. Ke- ikut
sertaannya dalam perang Badar,
ternyata mampu menyelamat
kannya dari tajamnya pedang
Umar ibnu Khottob. Dalam bidang
keilmuan, tentunya keimanan
seseorang mempunyai peran yang
sangat urgen di dalamnya. Masalah
keilmuan ini ada kaitannya dengan
masalah firasat, yang merupakan
pembahasan kita kali ini. Allah
berfirman : واتقوا الله
ويعلمكم الله “ Dan bertaqwala
h kamu kepada Allah, dan Allah
mengajarim u “ ( QS Al Baqarah :
282 ) Ayat di atas menunjukan
bahwa barang siapa yang
bertaqwa kepada Allah, niscaya
Allah akan mengajarin ya
( memberikan ilmu
kepadanya ).Kalau orang – orang
awam sekarang menyebutny a
dengan “ Ilmu Laduni “ , yaitu ilmu
yang diberikan Allah kepada
seseorang tanpa melalui proses
belajar, yang wajar dilakukan
orang. Hakekat Ilmu Laduni ini
sudah kita terangkan pada
pembahasan sebelumnya .
Di sana juga, terdapat hadits yang
mendukung ayat di atas, yaitu
hadits yang berbunyi : “ Barang
siapa yang mengajarka n Al
Qur ’an , niscaya Allah akan
mengajarka n sesuatu yang belum
ia ketahui “ Artinya : Mengajarka n
Al Qur’an adalah salah satu dari
kegiatan yang menambah
ketaqwaan atau keimanan
seseorang kepada Allah, sehingga
dengan amalan tersebut Allah akan
membalasny a dengan
mengajarka n kepadanya sesuatu
yang ia belum mengetahui nya.
Salah seorang sahabat Nabi
Muhammad saw pernah berkata : “
Seorang yang alim melihat fitnah
( kekacauan dan sejenisnya
sebelum datang, sedang orang
yang jahil melihat fitnah setelah
terjadi “ . Maksudnya , bahwa
orang yang alim ( tentunya disertai
dengan keimanan dan ketaqwaan
kepada Alah ) mempunyai firasat
atau pengetahua n akan sesuatu
yang akan terjadi, sedang orang
yang bodoh dan tidak bertaqwa
kepada Allah , tidak mengetahui
nya kecuali setelah peristiwa
tersebut terjadi. Ini bukan berarti
sang alim tadi mengetahui hal- hal
yang ghoib dengan begitu saja,
akan tetapi artinya bahwa dia
mengetahui nya dengan tanda-
tanda ( firasat ) yang telah
diberikan Allah kepadanya, atau
tanda-tand a tersebut telah
disebutkan Allah di dalam kitab
suci-Nya dan hadits nabi-Nya.
Beberapa Contoh Firasat yang
benar Sekedar contoh, bahwa
seorang alim akan mengetahui
runtuhnya suatu bangsa, atau
terjadinya malapetaka mengerikan
yang akan menimpa pada suatu
tempat, dengan melihat tanda-
tandanya, seperti menyebarny a
perzinaan dengan cara yang
terang-ter angan, merebaknya
perbuatan liwath atau homosex,
semaraknya riba di bank- bank
dan di pasar- pasar, serta
perbuatan –perbuatan sejenis,
yang kesemuanya itu akan
mendatangk an murka Allah dan
mengakibat kan turun adzab dari
langit. Penyakit “ AIDS ” , yang
sampai sekarang belum ada
obatnya, merupakan bukti nyata
akan statement di atas. Di tambah
muncul wabah baru yang
mengerikan dan pemburu nyawa
yang ditakuti oleh semua orang,
yaitu wabah “ SARS “ yang
membuat kalang kabut negara-
negara maju. Terakhir penyakit ini,
malah menyerang tentara Amerika
yang menjajah Irak. Terpurukny a
bangsa- bangsa yang ada adalah
akibat jauhnya mereka dari ajaran
Islam , termasuk di dalamnya
negara Indonesia, yang terus–
menerus mengumbar kemaksiata
n, meraup harta- harta hasil korupsi
dan menebar kejahatan riba serta
memerangi Islam dengan terang-
terangan. Dan sebentar lagi adalah
negara Amerika Serikat yang
sedang sekarat dan terpuruk
dengan berbagai persoalan dalam
dan luar negri . Negara ini konon
telah memberikan lampu hijau bagi
kaum homosex untuk
mempraktek an kebejatann ya, ini
adalah salah satu indikasi bagi “Al-
Mutawa ssimin “ ( orang – orang
yang mempunyai firasat ) bahwa
negara tersebut telah berada pada
jurang kehancuran . Allahpun
sebenarnya telah memberikan
contoh ilmu firasat ini dengan
sangat jelas , sebagaiman a yang
tertera pada ( Q.S Al Hijr, ayat :75)
diatas. Alur pembicaraa n ayat
tersebut, ternyata berkenaan
dengan peristiwa atau kemaksiata
n yang di lakukan oleh kaum Luth,
suatu bangsa yang pertama kali
mengajarka n “ homosex “ kepada
manusia, sehingga di hukum oleh
Allah dengan dibaliknya kota
Soddom dan dihujani dengan batu-
batu besar. Sesungguhn ya hal itu
terdapat tanda- tanda bagi orang –
orang yang mempunyai firasat.
Tanda- tanda ( firasat ) yang
digunakan oleh seorang yang alim
untuk mengetahui sebuah
peristiwa, bukan hanya berupa “
fahisah “ ( kemaksiata n seperti
zina dan sejenisnya ) saja, akan
tetapi tanda-tand a itu bisa juga
berupa penyelewen gan dari
manhaj Al Quran secara umum dan
penyelewen gan dari disiplin ilmu
yang benar, walaupun kadang,
penyelewen gan tersebut
dilakukan dengan tidak sengaja,
seperti : tidak adanya amar ma ’ruf
dan nahi mungkar didalam suatu
masyarakat , atau bahkan ada
perbuatan amar ma ’ruf dan nahi
mungkar, tetapi tidak dilandasi
dengan ilmu syar ’I yang
benar .Kita lihat umpamanya, Bani
Israel mendapatka n laknat dan
adzab dari Allah karena mereka
meninggalk an Amar Ma ’ruf Nahi
Mungkar. Bahkan kesalahana n
seorang pemimpin dalam berijtihad
pun bisa dijadikan tanda bagi orang
yang mempunyai firasat bahwa
hal itu akan menyebabka n
malapetaka . Inilah salah satu
bentuk firasat yang dimiliki oleh
Ibnu Umar ra, ketika melepas
Husein bin Ali ra – walaupun
dengan sangat berat hati –
berangkat ke Iraq untuk
memenuhi ajakan penduduk Iraq
yang ingin membai ’atn ya jadi
kholifah , beliau berkata kepada
Husein bin Ali ra: “ Saya menitipkan
mu kepada Allah , wahai orang
yang akan terbunuh “.

TOKOH-TOKOH YG MEMPUNYAI FIRASAT TAJAM.

Firasat Ibnu Umar mengatakan
bahwa Husein akan terbunuh
dalam perjalanan menuju Iraq
tersebut, ternyata menjadi
kenyataan . Terjadilah peristiwa
mengenaska n yang ditulis sejarah
dengan lumuran darah , yaitu
pembantaia n terhadap Husein ra,
cucu Rosulullah saw dan
rombongann ya di “ Karbela “ ,
yang akhirnya menimbulka n luka
mendalam pada seluruh umat
Islam bahkan menimbulka n fitnah
yang berkepanja ngan hingga hari
ini. Para sahabat lainnya juga
mempunyai firasat yang benar,
seperti yang dimiliki oleh Abu Musa
Al Asy ’ari ra, ketika melihat
perselisih an antara Muawiyah dan
Ali di dalam menentukan sikap
terhadap para pembunuh kholifah
Utsman bin Affan. Beliau melihat
perselisih an tersebut sebagai bibit
fitnah yang harus dijauhi, sehingga
beliau dengan beberapa sahabat
senior lainnya, seperti Sa ’ad bin Abi
Waqas, Ibnu Umar, Usamah bin
Zaid, Abu Bakroh, Salamah bin
Akwah, Abu Huroirah, Zaid bin
Tsabit dan lainnya, menolak untuk
ikut campur dalam peperangan
antara kedua kelompok umat
Islam tersebut. Dan sikap inilah
yang lebih dibenarkan oleh
beberapa ulama “ muhaqiqin “ dari
dua kubu lainnya, yaitu kubu Ali
bin Abi Tholib ra dan kubu
Muawiyah ra. Walaupun mayoritas
Ulama lebih membenarka n kubu
Ali bin Abu Tholib ra, tetapi
pendapat tersebut kurang kuat,
karena ada riwayat yang
menyatakan penyesalan Ali bin
Tholib terhadap sikap yang beliau
ambil di dalam menghadapi fitnah
ini, yaitu setelah perang Siffin yang
mengorbank an ribuan putra- putra
terbaik umat Islam itu selesai.
Begitu juga firasat yang dirasakan
oleh kholifah Utsman bin Affan ra,
ketika seseorang datang
menemuinya , beliau
mengatakan : “ Salah satu dari
kalian menemuiku , sedang
perbuatan zina nampak pada
matanya “ Mendengar perkataan
tersebut, spontas saja, yang hadir
di situ mengatakan : “ apakah
pernyataan tuan tersebut,
merupakan wahyu dari Allah ? “ .
Kholifah Utsman menjawab : “
Bukan, akan tetapi itu adalah
firasat yang benar “ . Juga,
sebelum beliau meninggal dunia
karena terbunuh, beliau merasakan
bahwa ajalnya telah dekat dan dia
akan mati terbunuh, maka beliau
mengambil sikap untuk tidak
mengadakan perlawanan ketika
segerombal an orang masuk ke
rumahnya, serta menolak bantuan
yang di tawarkan oleh beberapa
pengawal dan sahabatnya . Beliau
ingin menghindar i pertumpaha n
darah antara kaum muslimin, yang
ujung- ujun gnya, beliau jugalah
yang akan menjadi korbannya.
Menentukan Hukum dengan Firasat
Bukan sampai di situ saja,
firasatpun kadang bisa digunakan
di dalam memutuskan suatu
masalah. Yang perlu diingat
kembali, maksud firasat di sini
adalah firasat yang benar, yang
merupakan tanda- tanda atau
bukti- bukti yang hanya bisa
diketahui oleh orang – orang
tertentu dan tentunya bisa dicerna
oleh akal sehat. Salah contohnya,
adalah apa yang dilakukan oleh
nabi Allah Sulaiman as, ketika dua
orang perempuan datang kepada
nabi Daud as, untuk menyelesai
kan perkara mereka berdua yang
masing – masing mempunyai bayi,
salah satu bayi dari keduanya
dimakan srigala. Kedua- duanya
mengaku bahwa bayi yang masih
hidup adalah bayinya. Tidak ada
satupun dari mereka mau
mengalah dan ironisnya lagi, tidak
ada tanda satupun untuk bisa
dijadikan bukti dalam perkara
tersebut. Setelah berpikir sejenak,
nabi Daud as akhirnya
memutuskan bahwa bayi tersebut
milik perempuan yang lebih tua.
Apa yang dijadikan dasar oleh nabi
Daud as, sehingga mengambil
keputusan tersebut ? Barangkali
karena pertimbang an umur, atau
karena Nabi Daud as sejak pertama
kali melihat bahwa bayi tersebut
selalu dalam dekapan
( gendongan ) perempuan yang
tua. Keadaan seperti itu dijadikan
Nabi Daud as, sebagai dasar pijakan
untuk memutuskan bahwa anak
tersebut milik perempuan yang
mendekapny a. Dan teori ini
dibenarkan di dalam Hukum Islam.
Namun, ketika kedua perempuan
tersebut mendatangi Nabi Sulaiman
as, dan menceritak an duduk
perkaranya . Karena tidak ada
bukti, Nabi Sulaiman as berpikir
sejenak. Dan tanpa banyak bicara,
beliau segera memerintah kan
anak buahnya untuk mengambil
pedang. Setelah pedang yang
terhunus tersebut di tangan nabi
Sulaiman as, beliau menyaranka n
agar salah satu dari dua
perempuan tersebut untuk
mengalah, sebelum pedang
tersebut diayunkan ke tubuh bayi
mungil, untuk kemudian dibagi
menjadi dua bagian supaya adil.
Sampai di situ, kedua perempuan
tadi tidak bergeming dari
pendiriann ya masing-mas ing.
Mereka mengira bahwa nabi
Sulaiman tidak mungkin berbuat
setega itu. Namun, ketika
perempuan yang lebih muda
melihat Nabi Sulaiman ra, serius
dan tidak main- main dengan
ancamannya , serta hendak
mengayunka n pedangnya persis
di tengah tubuh bayi tersebut, tiba-
tiba dia berteriak : “ Jangan engkau
laksanakan wahai nabi Allah
Sulaiman, mudah- mudahan Allah
memberikan rohmat kepadamu,
saya nyatakan bahwa bahwa anak
tersebut milik perempuan yang
lebih tua dariku “. Mendengar
teriakan tersebut, Nabi Sulaiman
tersenyum dan tidak meneruskan
rencananya tersebut. Kemudian
memutuskan bahwa bayi tersebut
adalah milik perempuan yang lebih
muda. Nabi Sulaiman dalam
memutuskan perkara tersebut,
telah menggunaka n firasat dan
ilmunya bahwa diamnya
perempuan yang tua, dan
menjeritny a perempuan yang
lebih muda serta tidak sampai
hatinya dia menyaksika n anak
tersebut dibelah menjadi dua,
merupakan bukti atau tanda yang
sangat kuat bahwa anak tersebut
milik perempuan muda . Bahkan
bukti- bukti seperti itu, jauh lebih
kuat dari pada sekedar pengakuan
perempuan muda sendiri yang
menyatakan bahwa anak tersebut
bukan anaknya, tapi anak
perempuan yang lebih tua.
Peristiwa ini bisa dilihat di dalam
buku Shohih Bukhori, Kitab ;
tentang para nabi, no ( 3427) dan
di Shohih Muslim, Kitab ; peradilan
no ( 1720 ) Peristiwa tersebut
sangat erat kaitannya dengan
firman Allah :
وداود وسليمات إذ يحكمان في
الحرث غذ نفشت فيه غنم
القو￙ وكنا لحكمهم شاهدين ،
ففهمناها سليمان وكلا آتيناه
حكم￘ وعلما
“ Dan ingatlah kisah Daud dan
Sulaiman, ketika mereka
memberikan keputusan tentang
tanaman, karena tanaman
tersebut di rusak oleh kambing –
kambing kaumnya , dan Kami
adalah menyaksika n apa yang
mereka putuskan. Adapun
Sulaiman telah Kami berikan
pengertian ( kepahaman )
terhadap hukum yang tepat, Dan
masing- masing dari keduanya ,
Kami beri hikmah dan ilmu … “ (QS
Al Anbiya’ 78-79 ) Dari ayat di atas,
sebagian ulama berpendapa t
bahwa menentukan putusan dalam
peradilan dengan tanda- tanda
seperti itu, merupakan bagian dari
“ al fahmu “ ( pemahaman) atau
firasat, bukan sekedar ilmu belaka.
“ al fahmu” atau firasat
sebenarnya tidaklah bertentang an
dengan Ilmu Syareat, bahkan “ al
fahmu “ sendiri merupakan bagian
dari Ilmu Syareat tersebut. Jadi,
ilmu yang disebutkan Allah di
dalam Qs Al Baqarah : 282 di atas,-
yang datang karena ketaqwaan -,
termasuk di dalamnya adalah ilmu
“ alfahmu “ atau “ firasat yang
benar “ . Contoh lain, adalah apa
yang terjadi pada masa kekholifah
an Umar ibnu Khottob, ketika
datang kepadanya seorang
perempuan yang memuji sifat
suaminya, seraya berkata : “
Suami saya adalah orang yang
paling baik di dunia ini, dia selalu
bangun untuk melakukan sholat
malam hingga pagi, kemudian dia
juga puasa pada siang harinya nya
hingga malam “. Kemudian
perempuan tersebut tidak sanggup
meneruskan perkataann ya,
karena malu. Setelah perempuan
tersebut pulang, berkata Ka ’ab bin
Suwar , seorang qhodi yang cerdas
dari kalangan tab ’in , kepada
Umar : “ Wahai amirul mukminin,
perempuan tadi sebenarnya ingin
mengadu kepada tuan “. “
Mengadu tentang apa ? “ , tanya
Umar. “ Mengadu tentang
kedholiman suaminya “, jawab Ka’
ab. “ Kalau begitu panggil mereka
berdua dan kamu selesaikan
masalahnya “, Jawab Umar tegas. “
Saya yang menyelesai kan urusan
mereka, sedang tuan menyaksika
nnya ? “ tanya Ka’ab ragu. “ Iya,
karena firasatmu dapat membaca
sesuatu yang saya tidak
memperhati kannya “ , jawab
Umar ra. Mendengar hal tersebut
Ka ’ab menjadi tenang dan mulai
menyelesai kan problemati ka
kedua suami istri tersebut dengan
membacakan firman Allah :
فانكحوا ما طاب لكم من النساء
مثنى وثلاث ورباع
“ Maka hendaklah engkau nikahi
wanita- wanita yang engkau
senangi : dua , tiga atau empat
“ ( QS An Nisa : 3 ).
Kemudian Ka’ab berkata : “
Dengan dasar ayat tersebut, maka
( wahai suami ) hendaknya engkau
puasa tiga hari saja, adapun hari
keempat engkau harus berbuka
( tidak puasa ) bersama istrimu,
dan hendaknya engkau sholat
malam selama tiga malam saja,
dan pada malam keempat, engkau
harus tidur bersama istrimu “. Umar
bin Khottob berdecak kagum,
ketika mendengar keputusan yang
diajukan oleh Ka ’ab kepada dua
orang suami istri tersebut,
kemudian berkata : “ Firasatmu
yang kedua ini jauh lebih canggih
dari yang pertama “. Akhirnya ,
Umar mengangkat nya sebagai
qhodhi di kota Basroh. Dari
keterangan di atas, bisa kita ambil
kesimpulan bahwa firasat ternyata
terdapat di dalam ajaran Islam,
bahkan disebutkan di dalam Al
Qur’an dan Hadits serta dilakukan
oleh para sahabat dan para
pengikutny a. Namun yang perlu di
catat di sini, bahwa hal itu bukan
berarti setiap orang boleh
mengaku bahwa dia mempunyai
firasat yang benar atau bahkan
memutuskan sesuatu perkara
dengan firasat , walaupun tanpa
ada tanda- tanda atau bukti- bukti
yang bisa di pertangung jawabkan
baik secara Hukum Islam , maupun
secara logika yang sehat.Kare na
hadits diatas, yang mengatakan
untuk berhati- hati dengan firasat
orang beriman , ditambah dengan
contoh – contoh yang diutarakan di
atas , telah membuktika n bahwa
firasat yang bisa di terima adalah
firasatnya orang yang beriman,
yaitu orang yang benar- benar
bertaqwa kepada Allah swt, disertai
dengan bekal ilmu syar ’I yang
mapan. Hal tersebut, dikuatkan
dengan lafadh hadits bagian
terakhir yang berbunyi ( karena
dia melihat sesuatu dengan cahaya
Allah ) maksud dari : “dengan
cahaya Allah” di sini adalah dengan
ketaqwaan dan dengan ilmu.
Karena kalau sekedar mengaku
taqwa tanpa bukti, tentunya tidak
bisa di terima pengakuann ya,
karena salah satu bukti dari
ketaqwaan adalah ilmu. Beribadah
tanpa dasar ilmu bagaikan
ibadahnya orang Nasrani (Kristen)
yang dicap oleh Allah dengan
golongan yang sesat. Seseorang
tidak akan bisa beribadah dan
bertaqwa kepada Allah dengan
baik dan sempurna, kalau tidak
mempunyai bekal ilmu yang
cukup. Sebaliknya kalau hanya
berbekal ilmu saja, tanpa ada
keimanan dan ketaqwaan kepada
Allah juga tidak akan terwujud
sebuah cahaya, karena ia
termasuk type orang Yahudi yang
di murkai oleh Allah. Akhirnya, kita
mengatakan bahwa firasat yang
benar dan yang bisa dipertangg
ung jawabkan, apalagi yang bisa
digunakan sebagai dasar pijakan
untuk memutuskan perkara,
hanyalah dimiliki oleh orang –
orang yang berilmu dan bertaqwa
serta beriman. Semoga Allah
menganugra hkan firasat yang
benar kepada kita semua. aamiin.

APA BEDANYA ILHAM DENGAN HIKMAH.??

Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam
hafizhahul lah berkata dalam “Al-
Inqadz ” hal. 19: Membedakan
antara ilham yang terpuji dan was-
was syaithan adalah perkara yang
penting yang selayaknya untuk
dipahami. Allah berfirman tentang
jiwa manusia,
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا * فَأَلْهَمَ هَا
فُجُورَهَا وَتَقْوَاه َا
“Dan jiwa serta penyempurn aan
(ciptaann) nya. Maka Allah
mengilhamk an pada jiwa itu
(jalan) kejelekan dan ketakwaann
ya. ” ( Asy-Syams : 7-8) Ibnu
‘Athiyah berkata dalam “Tafsir”ny
a ( 15 /371) : “Dan makna firman
Allah “Maka Allah mengilhamk an
pada jiwa itu (jalan) kejelekan”
yaitu mengabarin ya jalan
kejelekan itu dan menjadikan
baginya kekuatan yang
dengannya bisa menempuh jalan
kejelekan atau menempuh jalan
ketakwaan. ” Ilham jiwa kepada
takwa itulah ilham yang terpuji dan
ilham jiwa kepada kejelekan itulah
ilham yang tercela. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata dalam
“ Majmu’ Al- Fatawa” (17 /529) :
“Maka jadilah perbedaan antara
ilham yang terpuji dengan was-was
yang tercela adalah berpatokan
pada Al- Kitab dan As-Sunnah. Jika
yang diilhamkan pada jiwa
merupakan perkara yang
ditunjukka n oleh Al-Kitab dan As-
Sunnah bahwa hal itu adalah
ketakwaan kepada Allah maka hal
itu adalah ilham yang terpuji. Dan
jika perkara itu adalah yang
ditunjukka n (oleh Al-Kitab dan As-
Sunnah) bahwa hal itu adalah
kejelekan maka hal itu merupakan
was-was yang tercela. Inilah adalah
perbedaan yang paten yang tidak
bisa ditolak. ” Dari keterangan di
atas kita mengetahui bagaimana
cara menentukan apakah ini was-
was atukah ilham yang baik. Yaitu
dengan mengukurny a dengan al-
Qur'an dan sunnah. Jika yang
terbisikka n itu merupakan perkara
yang dinyatakan al-Qur' an dan
sunnah sebagai kebaikan maka
itulah bisikan kebaikan, jika yang
dibisikkan itu merupakan perkara
yang dinyatakan sebagai
kejelekan maka itulah bisikan
kejelekan yang berarti was-was.
Jadi ukurannya adalah disandarak
an kembali pada Al-Qur'an dan
sunnah. Kemudian Asy-Syaikh
hafizhahul lah berkata pada hal.
22 : Saudaraku, syaithan berusaha
untuk meragukan kaum mukminin
dari keimananny a melalui jalan
was-was yang berbeda-be da.
Maka syaithan terkadang
membuat kejelekan tampak bagus
bagi mereka dan membuat
kebaikan tampak jelek, terkadang
membuat kaum mukminin lupa
terhadap kebaikan dan
mengingatk an pada kejelekan,
terkadang menakut-na kuti
mereka sehingga tidak mau lagi
berada pada kebaikan, dan
terkadang membisikka n pada
mereka keraguan, dan persangkaa
n yang menjadikan mereka berada
pada perkara yang samar dan
tidak jelas. Dan was-was syaithan
kepada kaum mukminin itu tidak
terbatas pada perusakan kaum
mukminin dalam hal kejelekan dan
menjauhkan mereka dari jenis
kebaikan saja. Bahkan was-wasnya
itu umum mencakup seruan
kepada kekufuran, kefasikan dan
pembangkan gan. Ini adalah
isyarat akan gigihnya usaha
syaithan untuk menyesatka n
kaum mukminin.
hikmah, sebuah kata yang
memiliki begitu banyak sudut
pandang dalam pengartian nya.
Kebanyakan dari kita merasa
sangat perlu mengambil hikmah/
pel ajaran dari hal-hal buruk yang
menimpa diri kita, karena dengan
cara itu paling tidak kita
menemukan sisi positif dari hal
buruk yang menimpa kita sehingga
sedikit terhibur dan mengurangi
kesedihan yang hinggap dalam
hati. Namun ternyata hikmah jauh
lebih luas dari itu, Al Hafidz Ibnu
Katsir rahimahull ah meriwayatk
an dari Ibnu ‘Abbas radhiyalla hu
anhuma secara marfu’ bahwa yang
dimaksud dengan al hikmah adalah
pengetahua n tentang Al Quran,
ayat nasikh mansukhnya , ayat
muhkam dan mutasyabih nya, apa
yang dihalalkan dan yang
diharamkan , dan contoh-con
tohnya. Bila disederhan akan
pendapat ulama di atas, hikmah
adalah sejauh mana kita
memahami ajaran agama yang
kita yakini, sejauh mana kita
mempelajar i isi dari kitab suci yang
kita percayai dan sejauh mana kita
menggunaka n pemahaman
tersebut ketika menghadapi proses
kehidupan. kebanyakan dari kita
mengambil hikmah hanya ketika
kita dalam posisi sulit dalam hidup.
Namun bila kita pahami pendapat
ulama di atas, ternyata hikmah
juga harus kita cari dan temukan
dalam kondisi-ko ndisi yang
menyenangk an dalam proses
kehidupan kita. Tidak lain dan tidak
bukan karena hikmah akan
semakin mudah kita dapatkan
ketika kita rajin melatihnya , tidak
hanya ketika kita mengalami
kesulitan tapi juga ketika kita diberi
kelapangan oleh Allah, sehingga di
lain waktu ketika kita mendapatka
n kesulitan maka hikmah
dibaliknya dapat dengan segera
kita deteksi, yang kemudian
diharapkan membuat kita lebih
jernih dalam berfikir dalam
mengatasi masalah tersebut dan
tentunya dalam koridor ilmu ke-
Islaman yang sesuai dengan Al-
Quran dan Hadits. Bila demikian
yang terjadi InsyaAllah derajat kita
dimata Allah SWT.
"Barangsia pa yang mendatangi
dukun peramal (kahin), maka
sungguh dia telah kufur kepada
apa ( Al Qur'an) yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad
Shalallahu 'Alaihi Wasallam"
Rasulullah sendiri tidak mampu
meramalkan yang gaib, yang akan
terjadi pada dirinya. Allah
berfirman : " Katakanlah aku tidak
berkuasa menarik kemanfaata n
bagi diriku dan tidak pula menolak
kemudarata n, kecuali yang
dikehendak i Allah. Dan sekiranya
aku mengetahui yang gaib,
tentulah aku membuat kebajikan
sebanyak- banyaknya dan aku
tidak akan ditimpa kemudaratan.
Aku tidak lain hanyalah pemberi
peringatan , dan pembawa berita
gembira bagi orang-oran g yang
beriman." - Al-A'raaf ; 7 : 188 kalau
di jakarta ada ulama yang
mengajari ilmu hikmat saya belum
pernah dengar/atau tahu.tapi bisa
mengetahui / meramal seseorang.
menurut saya.tak mungkinlah .
wallohu'la m

ILHAM DAN KASYAF APAKAH SAMA.??

“Iman yang tulus, ibadah yang
benar dan mujahadah akan
membuahkan cahaya dan
kelezatan yang Allah percikan ke
dalam hati siapa saja yang la
kehendaki. Akan tetapi ilham,
lintasan hati, kasyaf, dan mimpi
tidak termasuk dalil-dalil syar’i dan
tidak pula diperhitungkan
(dianggap), kecuali dengan syarat
tidak bertentangan dengan hukum-
hukum agama dan nash-nashnya. ”
Iman yang benar berarti
mengikrarkan dengan lisan,
membenarkan dengan hati, dan
beramal dengan anggota badan.
Imam Syafi ’i dalam kitabnya Al-
Umm berkata, “Kesepakatan para
sahabat, tabi’in, dan generasi
sesudah mereka yang kami ketahui,
mengatakan bahwa iman adalah
ucapan, perbuatan, dan niat, salah
satu di antara ketiganya tidak
mencukupi kecuali dengan yang
lain. ” Imam Ahmad berkata,
“Karena itu, menurut ahlusunah
ungkapan yang mengatakan bahwa
iman adalah ucapan dan perbuat
termasuk syiar-syiar Sunah. ”
Nash-nash Al-Quran dan hadits yang
menunjukkan pengertian di atas
sangat banyak dan terkenal.
Mereka sepakat bahwa orang yang
mengikrarkan keimanan dengan
lisannya secara nyata, namun
mendustakan dengan hatinya, tidak
termasuk mukmin. Orang seperti
inilah yang disebut munafik,
sebagaimana dijelaskan oleh Allah
dalam firman-Nya, Dan di antara
sebagian manusia ada segolongan
yang mengatakan, “Kami beriman
kepada Allah dan hari akhir."
Padahal mereka tidak termasuk
orang-orang yang beriman (Al-
Baqarah: 8 ). Dalam firman-Nya
yang lain Allah menjelaskan bahwa
bagi mereka disediakan azab yang
lebih berat daripada orang yang
jelas-jelas menentang (kufur),
dengan memasukkan mereka pada
tingkatan neraka yang paling
rendah, Sesungguhnya orang-orang
munafik berada pada tingkatan
yang paling rendah dari neraka (An-
Nisa ‘: 145).
Para ulama sepakat bahwa
pengakuan dengan hati saja tidak
cukup untuk merealisasikan makna
iman. Karenanya, pengakuan harus
diikuti ikrar dengan lisan. Fir ’aun dan
kaum-nya mengakui kebenaran
Musa dan Harun a.s. namun mereka
adalah kafir. Allah Swt. berfirman
tentang perkataan Musa kepada
Fir ’aun, Sesungguhnya kamu
(Fir’aun) telah mengetahui bahwa
tidak ada yang menurunkan
mukjizat-mukjizat itu, kecuali Tuhan
Yang Memelihara langit dan bumi
sebagai bukti yang nyata (Al-Isra ’:
102). Orang-orang Ahli Kitab dahulu
mengenal dan mengakui Nabi kita
Saw., namun mereka tidak beriman
kepadanya. Allah berfirman, Orang-
orang yang telah Kami berikan
kitab kepadanya, mengenal-nya
(Muhammad) sebagaimana
mengenal anak-anak mereka
sendiri. Orang-orang yang
merugikan dirinya, mereka tidak
beriman (Al-An ’am: 20). Bahkan iblis
juga mengenal Allah, tetapi ia tetap
menjadi pemimpin orang-orang
kafir.
Para ulama sepakat bahwa apabila
seorang hamba telah
membenarkan dengan hatinya, dan
mengikrarkan dengan lisannya,
namun menolak untuk beramal,
maka ia termasuk orang yang
durhaka kepada Allah dan Rasul-
Nya dan berhak mendapatkan
ancaman siksa yang Allah sebutkan
dalam kitab suci-Nya dan
diberitahukan oleh Rasul-Nya Saw.
Selain itu, ia juga mendapat
hukuman di dunia.
Tidak ada perbedaan pendapat di
kalangan ahlusunah bahwa dengan
melihat rahmat dan janji Allah, iman
yang mencakup pembenaran,
pernyataan, dan amal menjadikan
seseorang masuk surga dan tidak
kekal di neraka.
Sedangkan menurut pandangan
hukum dunia, iman adalah cukup
dengan mengikrarkan dua kalimat
syahadat. Siapa yang mengikrarkan
keduanya diberlakukanlah hukum
dunia kepadanya. la dituntut
komitmen dengan konsekuensi-
konsekuensinya, mendapat hak-
haknya, dan ia tidak dihukum
sebagai kafir, kecuali apabila
melakukan ucapan maupun
perbuatan yang merusak
syahadatnya. Prinsip ini didasarkan
kepada sabda Rasulullah Saw., Aku
diperintahkan untuk memerangi
manusia hingga mereka bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.
Jika mereka mau mengatakannya,
artinya mereka telah menjaga
darah dan harta-harta mereka dari
(tindakan)ku kecuali dengan
haknya (HR. Muslim).
Jika Anda telah memahami ini,
maka ketahuilah bahwa iman yang
benar adalah mencakup ketiga
makna di atas, tanpa terpisah-pisah.
Allah Swt. berfirman, Sesungguhnya
orang-orang yang beriman
hanyalah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-
Nya, kemudian tidak ragu-ragu dan
berjihad dengan harta dan jiwa
mereka di jalan Allah, Mereka itulah
orang-orang yang benar (Al-Hujurat:
15).
Ibadah yang benar adalah buah dari
keimanan yang benar. Para ulama
mendefinisikan bahwa ibadah
adalah sebuah kata yang mencakup
segala hal yang dicintai dan diridhai
Allah, berupa ucapan dan perbuatan
lahir maupun batin. Ibadah adalah
tujuan yang dicintai dan diridhai
Allah Swt. dan untuk itulah Allah
menciptakan makhluk-Nya,
Sesungguhnya Aku tidak
menciptakan jin dan manusia
kecuali agar mereka menyembah-
Ku (Adz-Dzariyat: 56). Untuk tujuan
itu pula Allah mengutus rasul-rasul-
Nya, Dan sesungguhnya Kami telah
mengutus pada seorang rasul pada
tiap-tiap umat (untuk menyerukan),
“ Sembahlah Allah (saja), dan
jauhilah taghut itu,” maka di antara
umat itu ada orang-orang yang
diberi petunjuk oleh Allah dan ada
pula di antaranya orang-orang yang
telah pasti kesesatan baginya (An-
Nahl: 36). Dan Kami tidak mengutus
seorang rasul pun sebelum kamu,.
melainkan Kami wahyukan
kepadanya, “Bahwasanya tidak ada
Tuhan (yang hak) melainkan Aku,
maka sembahlah Aku. ” (Al-Anbiya’:
25) Allah menjadikan ibadah itu
sebagai sesuatu yang harus tetap
dilakukan oleh Rasul-Nya sampai
mati. Allah berfirman, Dan
sembahlah Tuhanmu hingga datang
al-yaqin (kematian) (Al-Hijr: 99).
Rabu pukul 9:16 · Suka
Tanya Jawab Masalah Islam
Secara keseluruhan, agama
termasuk ibadah berdasarkan hadits
Jibril yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim. Hanya, ibadah
yang diperintahkan mencakup dua
makna sekaligus, yaitu kerendahan
dan kecintaan. Ibadah mengandung
makna puncak kehinaan dan
kecintaan kepada Allah Swt.,
Katakanlah, “Jika bapak-bapak,
anak-anak, saudara-saudara, istri-
istri, kaum keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan,
perniagaan yang kamu khawatirkan
kerugiannya, dan rumah-rumah
tempat tinggal yang kamu sukai,
lebih kamu cintai daripada Allah dan
Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya,
maka tunggulah sampai A-lah
mendatangkan keputusan-Nya. ”
Dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang fasik (At-
Taubah: 24).
Jika ibadah yang benar adalah
ibadah yang mencakup makna-
makna di atas, maka ibadah itu
tidak benar dan tidak diterima di sisi
Allah apabila belum dilakukan oleh
hamba sesuai dengan syariat Allah.
Demikian itu karena Allah tidak
menerima amal perbuatan maupun
ucapan, kecuali yang disyariatkan
dan diperintahkan-Nya kepada
hamba-hamba-Nya. Allah Swt. tidak
akan menerima ibadah-ibadah baru
yang diada-adakan oleh hamba-
hamba-Nya. Rasulullah Saw.
bersabda, Barangsiapa membuat
hal-hal yang baru (yang tidak
termasuk) dalam agama kami,
maka ia tertolak. Dalam riwayat
lain, Barangsiapa mengamalkan
suatu amalan yang tidak ada dalam
ajaran agama kami, maka ia
tertolak. Dalam riwayat yang lain,
Sesungguhnya setiap yang baru
adalah bid ’ah dan setiap bid’ah
adalah dhalalah (sesat).
Ibadah yang benar tidak mungkin
diwujudkan dan dicapai kecuali
dengan mujahadatun nafs wal hawa
(bersungguh-sungguh
mengendalikan diri dan memerangi
nafsu). Allah Swt. berfirman, Dan
orang-orang yang berjihad untuk
(mencari keridhaan) Kami, benar-
benar akan Kami tunjukkan kepada
mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar
menyertai orang-orang yang
berbuat baik (Al- ’Ankabut: 69).
Orang yang memahami ayat ini
secara proporsional, tepat,
mengetahui maknanya, dan
mengamalkan konsekuensinya,
akan memperoleh kebaikan yang
sangat banyak.
Rasulullah telah menjelaskan
hakikat mujahadah ini dengan
sabdanya, Mujahid adalah
seseorang yang berjihad melawan
diri dan hawa nafsunya (HR.
Ahmad). Berjihad melawan diri
adalah mengarahkannya kepada
perintah Allah dalam segala hal, di
antaranya berjihad melawan setan
dan musuh.
Langkah pertama dalam mujahadah
adalah beriman kepada Allah,
mengesakan-Nya, dan mengakui
kerasulan Nabi Muhammad Saw.
Dalam lingkungan Islam terkadang
orang tidak menyadari bahwa
masalah ini termasuk dalam bab
mujahadah, sehingga ia tidak perlu
menyebutnya. Ini jelas kesalahan
besar. Sesuatu yang paling besar
adalah jika seseorang mampu
beralih dari kekafiran menuju
keimanan atau menyatakan
imannya pada lingkungan yang
menentang iman dan melecehkan
pemeluknya. Allah berfirman, Dan
barangsiapa beriman kepada Allah,
niscaya Dia akan memberi petunjuk
kepada hatinya (At-Taghabun: 11).
Langkah kedua adalah menjalankan
kewajiban-kewajiban sesuai dengan
waktunya, seperti: shalat, puasa,
zakat, haji, nikah, bermuamalah,
dan lain-lain. Langkah yang ketiga
adalah secara tertib menjalankan
ibadah-ibadah sunah, berupa: shalat,
sedekah, puasa, haji, doa, zikir, dan
membaca Quran. Selanjutnya
langkah keempat adalah
mengendalikan diri untuk selalu
melaksanakan hal-hal yang bersifat
azimah (ibadah-ibadah dalam
bentuknya yang ideal) serta
mentarbiahkannya dengan amal-
amal berat yang bermanfaat,
seperti: khalwat (menyendiri), diam
kecuali dalam hal-hal yang
mewajibkan berbicara, begadang
malam untuk beribadah, shalat,
tilawah, zikir, lapar karena
melakukan puasa pada hari-hari
yang disunahkan, dan amal-amal
lain yang disyariatkan. Langkah
kelima adalah perenungan diri, hati,
menyingkap penyakit-penyakit
hati, dan mengobatinya. Inilah
langkah terakhir dalam mujahadah,
sekaligus merupakan salah satu
hasilnya yang utama. Dua langkah
terakhir inilah yang mendominasi
pembahasan dan pembicaraan
banyak kalangan tentang
mujahadah.
Iman yang benar lagi sempurna,
ibadah yang sahih sesuai dengan
petunjuk syara ’, dan mujahadah
yang terbingkai dengan kaidah dan
ajaran syara ’, akan menghasilkan
pengaruh besar yang tampak pada
diri manusia di dunia dan akhirat.
Sebagaimana dikatakan oleh Imam
Syahid Hasan Al-Hanna, "…cahaya
dan kenikmatan yang Allah
percikan ke dalam hati siapa saja,
yang la kehendaki di antara hamba-
hamba-Nya." Cahaya (nur) adalah
hal yang diisyaratkan dalam firman
Allah Swt., Dan apakah orang yang
sudah mati kemudian Kami
hidupkan dan Kami berikan cahaya
yang terang, yang dengan cahaya
itu ia dapat berjalan di tengah-
tengah masyarakat manusia,
serupa dengan orang yang
keadaannya berada dalam gelap
gulita yang sekali-kali tidak dapat
keluar daripadanya? Demikianlah
Kami jadikan orang yang kafir itu
memandang baik apa yang telah
mereka kerjakan (Al-An ’am: 122).
Rabu pukul 9:17 · Suka
Tanya Jawab Masalah Islam
Hakikat dan pengaruh iman telah
diungkapkan oleh Sayid Qutub
dalam tafsirnya, “Seseorang akan
mendapati cahaya ini didalam
hatinya, sehingga ia mendapatkan
kejelasan dalaim segala urusan, hal,
dan kejadian. Mendapatkan
kejelasan dalam jiwa, dan niat-
niatnya, lintasan-lintasan hatinya,
langkah, serta geraknya.
Mendapatkan kejelasan dalam
segala hal yang terjadi di
sekitarnya, baik yang berupa
sunatullah, aktivitas-aktivitas
manusia, niat, dan langkah-langkah
mereka, yang tampak maupun
yang tersembunyi. Mendapatkan
tafsir berbagai peristiwa dan sejarah
dalam jiwa dan akalnya, serta
dalam realitas kehidupan di
sekitarnya, seakan-akan ia
membaca buku. Seseorang yang
telah mendapatkan cahaya ini
dalam hatinya akan mendapatkan
kecemerlangan dalam lintasan-
lintasan hati, perasaan, dan
kemauannya, sehingga ia pun
mendapatkan kenikmatan dan
kesejukan dalam hati, suasana, dan
masa depannya. Ia akan
mendapatkan kelembutan dan
kemudahan dalam mengatur segala
urusan dan mengeluarkan
keputusan, serta dalam menghadapi
maupun melewati kejadian. Ia akan
mendapatkan ketenangan,
kepercayaan, dan keyakinan dalam
segala situasi dan kapan pun juga. ”
‘"
Cahaya yang mempunyai pengaruh
luas dalam diri manusia dan
menghasilkan banyak hal
menakjubkan yang tampak dalam
kehidupan seorang mukmin yang
tercerahkan ini, kemungkinan
terbentuknya telah ditunjukkan oleh
Al-Quran dan Sunah, dinyatakan
oleh para ulama, dan didukung oleh
kejadian-kejadian yang nyata.
Karena itu Imam Syahid Hasan Al-
Banna rahimahullah
menyebutkannya dalam prinsip ini
sebagai pengakuan akan
kebenarannya, sekaligus memberi
bingkai syar ’i agar orang-orang
yang tidak mendapatkan
pencerahan dari sumber-
sumbernya, karena hanya
mendapat bisikan nafsu dan
inspirasi setan, tidak melampaui
batas.
Pada kesempatan yang sama,
beliau tidak mengabaikan hal-hal
yang memang seharusnya
dikatakan, tidak seperti yang
dilakukan oleh orang-orang yang
tidak memahami syariat dan tidak
mengetahui dalil-dalil yang benar.
Karena itu Imam Syahid
mengatakan, “Akan tetapi ilham,
lintasan hati, kasyaf, dan mimpi
tidak termasuk dalil-dalil syar ’i dan
tidak pula diperhitungkan
(dianggap), kecuali dengan syarat
tidak bertentangan dengan hukum-
hukum agama dan nash-nashnya. ”
Agar kebenaran dalam masalah ini
menjadi jelas, harus diberi
keterangan dan penjelasan. Karena
itu, kami coba terangkan:
Pertama, ilham
Ilham adalah pengaruh yang Allah
berikan dalam jiwa seseorang
sehingga mendorongnya untuk
mengerjakan atau meninggalkan
sesuatu. la merupakan salah satu
jenis wahyu yang Allah khususkan
bagi siapa saja di antara hamba-
hamba-Nya yang Ia kehendaki.
Allah Swt. berfirman,
Dan jiwa serta penyempurnaannya
(penciptaannya), maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan
ketakwaannya (Asy-Syams: 7-8).
Rasulullah Saw. berdoa,
Ya Allah ilhamkanlah kepadaku
kebenaran dan lindungilah akim dari
keburukan jiwaku (HR. Turmudzi).
Ilham lebih umum daripada tahdits
karena ilham berlaku umum bagi
orang-orang yang beriman sesuai
dengan tingkat imannya. Setiap
mukmin mendapatkan ilham
kebenaran dari Allah Swt. sesuai
dengan tingkat keimanannya.
Adapun tahdits, Rasulullah Saw.
telah menjelaskan dalam sabdanya,
” Jika ada orang yang muhadats[1]
dari umatku, maka Umar-lah
orangnya ” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bentuk ilham yang banyak dikenal,
antara lain berupa pesan yang
diberikan ke dalam hati seorang
mukmin, melalui pembicaraan
malaikat dengan ruhnya. Dalam
sebuah hadits diriwayatkan bahwa
Nabi Saw. bersabda, Sesungguhnya
malaikat mempunyai hasrat di hati
anak Adam, demikian juga setan.
Hasrat malaikat berupa ajakan
untuk kebaikan dan membenarkan
ancaman Allah Swt., sedangkan
hasrat setan adalah ajakan untuk
melakukan kejahatan dan
mendustakan janji Allah, –
kemudian beliau membaca firman
Allah – "Setan itu menjanjikan
kefaqiran kepadamu dan
memerintahkan perbuatan yang
keji, sedangkan Allah menjanjikan
ampunan dan anugerah
kepadamu. ” (HR. Turmudzi).
Allah Swt. berfirman, (Ingatlah),
ketika Tuhanmu mewahyukan
kepada para malaikat, “
Sesungguhnya Aku bersama kamu,
maka teguhkanlah (pendirian)
orang-orang yang telah
beriman. ” (Al-Anfal: 12).
Sebebagian ulama menafsirkan
ayat ini dengan "Wahai malaikat
kuatkanlah hati orang-orang yanng
beriman dan berilah kabar gembira
kepada mereka dengan
kemenangan. ” Sebagian yang lain
mengatakan, “Hadirlah wahai
malaikat bersama orang-orang
mukmin di medan perang. ” Kedua
penafsiran itu sama-sama benar,
karena malaikat memang hadir
bersama orang-orang mukmin di
medan perang dan meneguhkan
hati
mereka. Termasuk kategori pesan
ini adalah nasihat yang diberikan
oleh Allah Swt. kepada hati hamba-
hambanya yang mukmin,
sebagaimana yang diungkapkan
dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Turmudzi dan Imam
Ahmad dari sahabat Nawwas bin
Sam ’an dari Nabi Muhammad Saw.
Bahwa beliau bersabda,
Sesungguhnya Allah membuat
perumpamaan berupa sebuah jalan
yang lurus. Pada kedua sisi jalan
tersebut terdapat dua dinding yang
masing-masing mempunyai pintu
yang terbuka. Pada masing-masing
pintu terdapat gorden, ada penyeru
di ujung jalan, dan ada pula penyeru
di atas jalan. Jalan yang lurus adalah
Islam, kedua dindingnya adalah
batas-batas Allah, dan pintu-pintu
yang terbuka adalah hal-hal yang
diharamkan oleh Allah. Tidak ada
Rabu pukul 9:18 · Suka
Tanya Jawab Masalah Islam
seorang pun yang melanggar suatu
batas di antara batas-batas Allah,
kecuali bila ia menyingkap gorden
itu. Penyeru yang berada pada
ujung jalan adalah Kitabullah,
sedangkan penyeru yang berada di
atas jalan adalah penasihat dari
Allah dalam hati orang yang
beriman. Penasihat yang ada dalam
hati orang-orang yang beriman
itulah ilham Ilahi dengan
perantaraan malaikat.
Termasuk ilham adalah firasat, yaitu
cahaya yang Allah berikan ke
dalam untuk membedakan antara
haq dan batil dan antara yang jujur
dan dusta. Allah berfirman,
Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-
tanda (kekuasaan Kami) bagi
mutawasimin (orang-orang yang
memperhatikan tanda-tanda) (Al-
Hijr: 75). Menurut Mujahid r.a. yang
dimaksud mutawasimin adalah
mutafarisin (orang-orang yang
diberi firasat). Imam Turmudzi
meriwayatkan dari Abi Sa ’id r.a. dari
Nabi Saw. bahwa beliau bersabda,
Takutlah kalian kepada firasat orang
mukmin, karena ia memandang
dengan cahaya Allah Azza wa Jalla.
Kemudian beliau membaca,
“ Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi
mutawasimin (orang-orang yang
memperhatikan tanda-tanda)." (Al-
Hijr: 75).
Firasat ada tiga macam:
1. Firasat imaniyah, yaitu firasat
orang-orang yang beriman. Jenis ini
selalu tegak di atas kebenaran.
2. Firasat riyadhiyah, ialah firasat
yang dihasilkan melalui lapar,
begadang, dan menyendiri.
Demikan itu terjadi karena jiwa
terbebas dari penghalang-
penghalangnya, maka firasat dan
kasyaf akan didapatkan sesuai
dengan tingkat kebebasan-nya dari
penghalang tersebut.
3. Firasat khalqiyah, ialah firasat
yang para dokter menulis
tentangnya. Mereka mencoba
menghubungkan antara sifat-sifat
fisik dengan sifat-sifat psikis karena
memang ada kaitan yang
dikehendaki hikmahnya oleh Allah.
Dua jenis firasat yang terakhir ini
bisa dimiliki oleh siapa saja, baik
mukmin maupun kafir, tidak
menunjukkan keiman-an dan
kewalian, serta tidak menyingkap
tentang kebenaran yang
bermanfaat maupun jalan yang
lurus. ‘”
Kedua, khawathir
Khawathir jamak khatir yaitu
sesuatu yang terlintas dalam hati
berupa rencana atau perintah.
Apabila baik, maka itu merupakan
bagian dari cahaya dan pengaruh
iman, serta petunjuk adanya taufik
dari Allah. Namun apabila
sebaliknya, maka ia merupakan tipu
daya dan bisikan setan,
sebagaimana disebutkan dalam
hadits sujud sahwi, Hingga setan
melintas antara seseorang dan
hatinya, dan dalam hadits Ibnu
Abbas r.a., Ketika Nabi berdiri untuk
melaksanakan shalat, tiba-tiba
melintas suatu lintasan dalam
hatinya. Maka orang-orang munafik
pun mengomentari bahwa beliau
mempunyai dua hati.
Ketiga, kasyaf
Imam 1bnul Qayyim rahimahullah
mengatakan, "Mukasyafah yang
benar adalah ilmu-ilmu yang Allah
munculkan di hati hamba-Nya.
Dengan ilmu itu Allah Swt.
memperlihatkan kepadanya hal-hal
yang tersembunyi bagi orang lain.
Terkadang Allah Swt. membantu
seseorang untuk memilikinya, tapi
terkadang menghalanginya dengan
membuatnya lupa dan
menyembunyikannya dari orang itu
dengan kabut yang membuat
hatinya keras, itulah setipis-tipis
penghalang. Dengan mendung yang
lebih tebal dari kabut, atau dengan
tutup yang menjadi penghalang
paling tebal. ”
Penghalang paling tipis terkadang
dialami oleh para nabi a.s.
Sebagaimana sabda Nabi Saw.,
Sesungguhnya hatiku berkabut dan
sesungguhnya aku beristigfar
kepada Allah sebanyak seratus kali
dalam sehari (HR. Muslim).
Penghalang yang berupa mendung
terjadi pada orang-orang mukmin.
Sedangkan penghalang yang
berupa tutup terjadi pada orang-
orang yang didominasi oleh
kemalangan. Allah Swt. berfirman,
Sekali-kali tidak (demikian),
sebenarnya apa yang selalu
mereka usahakan itu menutup hati
mereka (Al-Muthafifin: 14). Ibnu
Abbas dan lainnya mengatakan
bahwa ia adalah dosa dan dosa
menutupi hati hingga menjadi
tertutup seluruhnya.
Kasyaf yang benar adalah jika
seorang Muslim mengetahui
kebenaran yang dibawa oleh
Rasulullah Saw. dan diturunkan
dalam kitab-kitab suci secara jelas
dalam hatinya. Kemudian ia
dedikasikan kehendak hatinya
kepadanya dan senantiasa
bersamanya dalam segala kondisi.
Inilah kesimpulan yang benar, bila
tidak demikian maka itu adalah
tipuan yang buruk. Demikian itu
dalam hal-hal yang berkaitan
dengan mukasyafat hati, salah satu
sumber kasyaf ketika hati jernih,
berjalan di atas jalan yang lurus,
serta menjauhi bid ’ah dan
kesesatan. Adapun kasyaf
penglihatan dan pendengaran, yang
dimaksud oleh Imam Syahid Hasan
Al-Banna dalam prinsip ini, Ibnu
Qayyim rahimahullah telah
mengklasifikasikannya menjadi tiga
jenis: kasyaf rahmani, yang khusus
bagi orang-orang yag beriman,
kasyaf nafsani, dan kasyaf
syaithani, yang dijelaskan dalam
pernyataannya, “Adapun kasyaf
juz’i yaitu yang dapat dimiliki oleh
orang-orang mukmin dan orang-
orang kafir, juga oleh orang-orang
baik maupun orang-orang jahat,
seperti: mengetahui apa yang ada
di rumah seseorang, tongkat di
tangannya, di bawah pakaiannya,
atau jenis kelamin janin yang ada
dalam kandungan istrinya. Adapun
yang tidak terlihat oleh seorang
hamba berupa hal-hal yang sangat
jauh, terkadang berasal dari setan
atau dari dirinya sendiri. Karena
itulah, maka hal itu bisa terjadi pada
orang-orang kafir, seperti orang-
orang yang melakukan
kemaksiatan, penyembah api, dan
salib.
Rabu pukul 9:19 · Suka
Tanya Jawab Masalah Islam Ibnu
Shayyad dapat mengetahui apa
yang disembunyikan oleh Nabi,
kemudian Rasulullah Saw. berkata
kepadanya, "Engkau ini hanyalah
sebagian dari teman para dukun."
Nabi menerangkan bahwa kasyaf
yang dimilikinya termasuk kasyaf
perdukunan dan hal itu mungkin.
Demikian pula Musailamah Al-
Kadzab, betapapun kekafiran yang
dilakukannya, ia mampu
menceritakan kepada para
pengikutnya tentang apa yang
dilakukan oleh salah seorang dari
mereka di rumahnya, dan apa yang
dikatakannya kepada istrinya.
Setanlah yang memberikan kabar
kepadanya, untuk menyesatkan
manusia. Demikian pula Al-Aswad
Al-Unsi dan Harits Al-Mutanabbi
yang memberontak pada masa
pemerintahan Abdul Malik bin
Marwan, serta orang-orang semisal
mereka yang hanya diketahui oleh
Allah. Kita telah mengetahui dan
orang-orang juga telah
menyaksikan kasyaf dari para
pendeta penyembah salib.
Contoh kasyaf rahmani adalah
kasyaf dari Abu Bakar r.a., ketika
beliau berkata kepada Aisyah r.a.
bahwa sesungguhnya istrinya
mengandung janin perempuan.
Kasyaf Umar r.a. ketika beliau
berkata, “Wahai pasukan naiklah ke
gunung.” Kasyaf-kasyaf ini
termasuk kasyaf para wali Allah.
Kesimpulannya, Said Hawwa
menjelaskan bahwa kasyaf adalah
sesuatu yang mungkin terjadi,
orang-orang yang melakukan
perjalanan spiritual menuju Allah
dapat mencapainya. Ia merupakan
salah satu wujud anugerah Allah
Swt. sekaligus sebagai ujian dari-
Nya. Tapi kita semua komitmen
dengan nash, bukan dengan kasyaf.
Kasyaf tidak bisa digunakan sebagai
dasar untuk menetapkan keyakinan
baru dan tidak pula untuk
menambah nash-nash yang ada.
Umat tidak diwajibkan beribadah
dengannya. Mereka tidak harus
mempercayai pemiliknya, walaupun
ia termasuk orang yang jujur. Hal itu
karena hatinya tidak ma ’shum
berkaitan dengan masalah gaib.
Selain itu, kemungkinan terjadi ilusi
juga sangat besar. Karena kasyaf
terkadang menjadi ujian bagi
seseorang atau sekelompok orang,
maka ia kadang menurunkan
derajatnya.
Dengan batas-batas ini, jelaslah
kedudukan kasyaf dalam syariat
Allah, dan kita memahami maksud
dari ungkapan Imam Syahid Al-
Banna rahimahullah bahwa ia tidak
termasuk dalil-dalil hukum syar’i
dan tidak diperhitungkan
(dianggap), kecuali dengan syarat
tidak bertentangan dengan hukum-
hukum agama dan nash-nashnya.
Keempat, mimpi-mimpi dalam tidur
Jika benar, ia merupakan salah satu
pengaruh iman dan tingkatan
hidayah. la termasuk bagian dari
kenabian, sebagaimana
diriwayatkan dari Nabi Saw. bahwa
beliau bersabda, Mimpi yang baik
adalah bagian dari empat puluh
enam bagian nubuwah (Shahih
Bukhari dan Muslim).
Mimpi adalah permulaan wahyu.
Kebenarannya tergantung kepada
kejujuran orang yang bermimpi.
Orang yang paling benar mimpinya
adalah orang yang paling jujur
perkataannya. Ketika zaman
semakin dekat, hampir tidak ada
kesalahan dalam mimpi yang baik,
sebagaimana disabdakan oleh Nabi
Saw, Demikian itu karena semakin
jauhnya masa dari kenabian dan
pengaruhnya. Karena itu, orang-
orang mukmin mengambil ganti
dengan mimpi. Adapun pada masa
kuatnya cahaya kenabian, dengan
cahayanya yang terang,
menjadikan mereka tidak
membutuhkan mimpi-mimpi itu.
Nabi Saw. bersabda, Tidak ada lagi
bagian dari nubuwah selain
mubasyirat. Ada yang bertanya,
” Apa itu mubasyirat, wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab “Ia
adalah mimpi baik yang dialami
sendiri oleh seorang Muslim atau
diimpikan oleh orang lain." (HR.
Bukhari).
Jika mimpi-mimpi kaum Muslimin
sama, maka tidak dapat didustakan.
Nabi telah mengatakan kepada
para sahabatnya ketika mereka
bermimpi melihat lailatul qadar
pada sepuluh hari terakhir di bulan
Ramadhan. Beliau Saw. bersabda,
Saya melihat mimpi kalian sudah
saling memperkuat bahwa lailatul
qadar terjadi pada sepuluh hari
terakhir di bulan Ramadhan. Karena
itu, barangsiapa di antara kalian
yang hendak mencari-carinya maka
lakukanlah pada sepuluh hari
terakhir (HR. Bukhari).
Sebagaimana kasyaf, mimpi juga
terbagi menjadi tiga bagian:
rahmani, nafsani, dan syaithani. Nabi
Saw. bersabda, Mimpi ada tiga, yaitu
mimpi dari Allah, mimpi penyedihan
setan, dan mimpi dengan melihat
kembali apa yang pernah terjadi
pada dirinya saat ia terjaga.
Mimpi yang menjadi sebab
datangnya petunjuk adalah mimpi
yang khususnya datang dari Allah.
Mimpi para nabi adalah wahyu,
karena mimpi ini terpelihara dari
setan. Inilah yang diyakini oleh
umat. Karena itulah maka
nabiyullah Ibrahim a.s.
melaksanakan perintah
menyembelih putranya, Ismail
berdasarkan mimpi itu."
Rabu pukul 9:20 · Suka
Tanya Jawab Masalah Islam
Adapun mimpi selain para nabi,
disesuaikan dengan wahyu yang
jelas. Jika sesuai, bisa diterima. Jika
tidak, tidak boleh diamalkan.
Apabila ditanyakan, "Bagaimana
pendapat kalian tentang mimpi
yang baik atau mimpi-mimpi orang
banyak yang sepakat atas
sesuatu ?” Kami menjawab, “Jika
memang demikian, maka tidak
mungkin menyalahi wahyu, bahkan
pasti sesuai dengannya, untuk
menyadarkannya atau
menyadarkan akan masuknya
suatu permasalahan khusus dalam
hukum wahyu, sedangkan orang
yang bermimpi tidak menyadari
bahwa hal itu termasuk di
dalamnya, sehingga dengan mimpi
itu ia menjadi tersadarkan. ”’
Selanjutnya kaum Muslimin sepakat
bahwa mimpi bagi selain para nabi
tidak boleh dijadikan sebagai
sumber hukum dan perundang-
undangan. Jika mereka bertanya,
“ Apabila seseorang bermimpi
melihat Nabi Saw. padahal setan
tidak mungkin menyerupainya,
kemudian beliau Saw.
memerintahkan suatu hal yang
bertentangan dengan syariat ’?” Kita
katakan kepadanya, “Engkau
sedang berangan-angan.” Ia tidak
boleh bertindak berdasar mimpinya
itu, apalagi mimpi-mimpi yang lain?
Barangsiapa menginginkan mimpi
yang benar, maka hendaklah ia
berusaha untuk selalu jujur, makan
yang halal, memperhatikan perintah
dan larangan, tidur dalam keadaan
suci sepenuhnya, menghadap kiblat,
dan zikir kepada Allah hingga
tertidur. Jika demikian, insya Allah
mimpinya tidak berdusta.
Mimpi yang paling benar adalah
mimpi pada waktu sahur, karena
saat itu merupakan waktu turunnya
Allah ke langit dunia, saat dekatnya
rahmat dan ampunan, serta
diamnya setan-setan. Kebalikannya
adalah mimpi pada sepertiga
malam yang pertama, saat setan-
setan dan ruh-ruh syaithaniyah
bergentayangan. Ubadah bin Shamit
r.a. berkata, “Mimpi seorang
mukmin adalah kalam Allah kepada
hamba-Nya pada waktu tidur. ”
Kesimpulannya, ilham, khawathir,
kasyaf, dan mimpi merupakan
pengaruh cahaya iman, jika keluar
dari seorang mukmin yang jujur.
Banyak bukti-bukti lahiriah dan
pengalaman batin yang
menguatkan akan hal itu. Ia adalah
karamah dari Allah bagi mereka, di
samping juga merupakan ujian
untuk menguji keteguhan dan
konsistensi dalam keimanan.
Meskipun demikian, sebagaimana
dikatakan oleh Imam. Syahid Al-
Banna rahimahullah, ia bukan
termasuk dalil-dalil hukum syar ’i,
karena dalil-dalil hukum syar’i
disyaratkan bahwa sumbernya
ma ’shum, sementara di sini tidak
ada ke-ma’shum-an, karena tidak
ada ke-ma’shum-an yang dapat ter-
bukti secara syar’i berdasarkan
firman Allah dan sabda Rasul Saw.,
atau berdasarkan ijmak kaum
Muslimin. Padahal di sini tidak ada
sedikit pun dari semua itu.
Meskipun demikian, apabila
karamah-karamah itu berasal dari
Allah Swt. maka tidak mungkin
bertentangan dengan syariat.
Adapun jika berasal dari diri sendiri
dan setan, maka ia tidak dapat
dipercaya, karena sedikit sekali
yang sesuai dengan syariat atau
konsisten pada masalah yang
diridhai. Imam Syahid mengatakan,
“ Semua karamah itu tidak dianggap,
kecuali dengan syarat tidak
bertentangan dengan hukum-
hukum agama dan nash-nash-nya.”
Wallahu a’lam.
Kenikmatan yang lahir dari
keimanan dan kesahihan ibadah,
serta mujahadah yang baik, adalah
kenikmatan hakiki yang dirasakan
oleh jiwa orang yang beriman,
sebagaimana lidah merasakan
lezatnya makanan, seperti
disebutkan dalam banyak hadits-
hadits sahih, di antaranya sabda
Rasulullah Saw., Akan merasakan
lezatnya iman orang yang ridha
bahwa Allah sebagai Tuhan-nya,
Islam sebagai agamanya, dan
Muhammad Saw. sebagai rasulnya
(HR. Muslim). Tiga hal, barangsiapa
seluruhnya ada dalam diri
seseorang, maka ia akan
merasakan nikmatnya iman.
Dalam riwayat lain, akan
merasakan nikmatnya iman, orang
yang lebih mencintai Allah dan
Rasul-Nya daripada selain
keduanya, jika seorang mencintai
sahabatnya, ia tidak mencintai-nya
kecuali karena Allah Swt., dan tidak
mau kembali kepada kekafiran
setelah Allah Swt. menyelamatkan
diri darinya, sebagaimana ia tidak
mau dimasukkan dalam neraka.
Para ulama berkata, “Makna
kenikmatan iman adalah merasa
nikmat dalam melakukan ketaatan
dan memikul beban dalam mencari
keridhaan Allah dan Rasul-Nya, lebih
mengutamakan hal itu daripada
tujuan-tujuan duniawi, kecintaan
seorang hamba kepada Tuhannya
Swt. dengan menjalankan ketaatan
kepadanya dan meninggalkan
kedurhakaan terhadap-Nya, di
samping juga mencintai Rasulullah
Saw. ”
semua itu tidak mungkin dicapai
kecuali oleh orang yang hatinya
telah bersenyawa dengan iman,
sehingga kenikmatan iman mampu
mendominasi hatinya. Karena itu,
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa
iman memberikan kenikmatan
yang berkaitan dengan rasa dan
selera. Keraguan dan syubhat tidak
akan hilang dari hati, kecuali apabila
seseorang telah mencapai keadaan
seperti ini. Iman benar-benar telah
bersenyawa dengan hatinya, hingga
ia merasakan kelezatannya dan
menemukan kenikmatannya. ”’
Rasa inilah yang dijadikan Heraclius
sebagai dalil akan benarnya
kenabian, saat ia bertanya kepada
Abu Sufyan, "Adakah seorang di
antara pengikut Muhammad yang
murtad karena marah kepada
agamanya?” “Tidak," jawab Abu
Sufyan. Heraclius pun berkomentar,
“ Demikianlah iman, ketika ia telah
bersenyawa dengan keceriaan hati."
Kenikmatan hakiki yang selalu
bergelora inilah yang telah
dibuktikan oleh para sahabat r.a.,
salafusaleh, dan orang-orang yang
melakukan interaksi yang benar
dengan Allah Swt. serta dengan
agama-Nya yang terakhir. Jika kami
hendak memuat contoh-contohnya,
tentu akan menghabiskan buku
berjilid-jilid. Kami cukupkan dengan
tiga contoh saja dari tiga orang
sahabat yang telah
mengungkapkan hakikat
kenikmatan itu, sebab berbagai
pengorbanan yang telah mereka
lakukan. Mereka itu adalah:
Rabu pukul 9:21 · Suka
Tanya Jawab Masalah Islam 1.
Bilal bin Rabah r.a.
Ketika disiksa diterik panas
matahari untuk memaksanya kafir,
sementara ia hanya bisa mengucap,
“ Ahad, Ahad.” Ia campur pahitnya
siksaan dengan manisnya iman. Ia
telah bersenyawa dengan
kenikmatan iman. Demikian juga
saat menjelang kematiannya,
ketika keluarganya mengatakan
alangkah susahnya, tapi beliau
sendiri justru mengatakan, duhai
alangkah senangnya karena besok
saya akan menjumpai kekasih-
kekasihku, Muhammad dan para
sahabatnya. Bercampurlah pahitnya
kematian dengan nikmatnya
pertemuan itu, itulah kenikmatan
iman.
2. Seorang sahabat yang kudanya
dicuri pada suatu malam, saat ia
sedang shalat. Ia melihat saat
pencuri itu mencuri kudanya, namun
ia tidak memutuskan shalatnya.
Ketika ditanya tentang hal itu ia
menjawab, “Apa yang sedang aku
lakukan lebih besar dari itu.” Ini
tidak lain karena kenikmatan iman.
3. Dua orang sahabat yang
diperintahkan Rasulullah Saw.
sebagai penjaga malam pada
sebuah peperangan. Salah seorang
tidur, sedangkan yang lain
menunaikan shalat. Tiba-tiba ada
mata-mata dari pihak musuh
datang. Melihatnya, mata-mata itu
melepaskan anak panah dan
mengenainya. Namun demikian
sahabat ini tetap meneruskan
shalatnya dan tidak
menghentikannya. Mata-mata itu
melepaskan panah yang kedua dan
mengenainya pula, namun ia tidak
memutuskan shalatnya. Kemudian
dilepaslah kepadanya anak panah
yang ketiga dan mengenainya.
Pada panah yang ketiga inilah ia
baru membangunkan sahabatnya.
Ia berkata “Kalaulah bukan karena
kekhawatiranku terhadap
keselamatan kaum Muslimin, tentu
aku tidak menghentikan sholat-ku. ”
Hal itu tidak dilakukannya kecuali
karena besarnya kenikmatan yang
ia rasakan dalam shalat, hingga
menghilangkan rasa sakit akibat
anak panah yang mengenai dirinya.
Muhadats: orang yang benar
dugaannya seolah-olah ada yang
membisikinya.wallohu'lam